IKLAN POLITIK 2009
Tahun 2009 adalah tahun pemilu bagi bangsa Indonesia. Geliatnya sudah terasa sepanjang tahun 2008. Pengkondisian, setting, pembentukan citra, dan sebangsanya telah dilakukan para pelaku politik bangsa ini. Adu iklan ditelevisi, tebar pesona dengan basa-basi politik dalam ’talk show’, atau mejeng melalui baliho atau poster-poster di pinggir jalan.
Dari jalan-jalan besar sampai ke gang-gang tikus, ribuan foto caleg terpampang menebar senyum. Kalau Anda perhatikan kontras sekali antara perlentenya tampilan caleg dangan berlobangnya jalan dimana baliho itu dipajangkan. Kumuhnya perumahan, bertebarannya kaum miskin, lusuh-lesunya pengantri minyak tanah, BLT, dan sejenisnya sama sekali tidak relevan dengan tampilan wajah para caleg yang tampak lebih ingin menjadi selebriti daripada pejuang hati nurani rakyat.
Di televisi, dua-dua partai politik diadu dalam debat panas. Berbusa-busa mulut mereka mengadu argumentasi seolah-olah itulah sesuatu yang dingin dalam ‘mimipi’ rakyat Indonesia. Bahkan gestur tubuh, raut muka, dan ramainya interupsi dan sorakan mereka sama sekali jauh dari masalah yang dihadapi rakyat sekarang ini.
Itu semua adalah iklan politik. Apakah iklan yang mencerahkan? Iklan yang membingungkan? Iklan yang membodohkan? Siapa yang bisa memberikan kepastian?
Objek semua iklan itu tentu adalah arah pilihan rakyat. Ke arah mana coretan pena diarahkan, partai apa dan caleg yang mana, atau capres atau cawapres yang mana,
Dimusim pemilu, pilihan rakyat adalah primadona yang jadi fokus target kerja pelaku politik. Seperti Anda maklum, jika pemilu itu telah berlangsung, lalu sebagian pelaku politik keluar jadi pemenang, menjadi anggota legeslatif ’yang terhormat’ atau jadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, keinginan rakyat belum tentu jadi fokus targer kerja mereka lagi.
Ketika siklus itu terus berlangsung, dan ujung-ujungnya banyak rakyat yang dikecewakan, Pemilu sebagai bagian dari sistem pengelolaan bangsa ini menuju kerah yang lebih baik, semakin kehilangan wibawanya. Bertambah rendahnya partisipasi rakyat dari masa ke masa dalam memberikan hak suaranya menunjukkan bahwa kepercayaan rakyat terhadap pelaku politik bangsa ini sudah mulai luntur. Dari waktu kewaktu kesadaran rakyat bahwa suara mereka hanya dimanfaatkan saja-tidak lebih- menimbulkan kemuakan. Sebagian rakyat yang muak ini kemudian banyak yang berani mengkampanyekan golput. Golput atau golongan putih, atau golongan yang tidak mau memilih pelaku politik manapun, adalah ekspresi ketidak percayaan, kemuakan, atau keputusasaan rakyat terhadap harapan yang lebih baik kepada para pelaku politik.
Dalam sejarah politik bangsa ini, mungkin juga dalam sejarah umat manusia, golput biasanya diisi oleh orang-orang yang kecewa. Lawan politik mereka menyebutnya ’gerakan sakit hati’, kelompok pecundang, yang kalah dalam persaingan politik. Golongan ini bukan pemegang kekuasaan tentunya, mereka tidak punya kekuatan mengambil alih. Kekuatan golongan ini adalah kelompok orang ’mutung’, ’minggat’.’nge-WO’, mundur dari arena pertarungan lalu menjauh jadi penonton yang penggerutu dan dengan persaaan hati yang masgul.
Kelompok elit politik yang berkuasa biasanya berusaha meyakinkan rakyat bahwa golput ini tidak layak diikuti. Fatwa bahwa golput itu haram telah menjadi pernyataan politik musiman menjelang pemilu. Dari periode ke periode pemilu, fenomena golput dan cap bahwa golput itu haram merupakan pasangangan yang debatable, jadi pergunjingan, diskusi hangat, bahkan sampai ke pertenggkaran. Tetapi ujungnya sama, yaitu tidak ada ujungnya. Rakyat disuguhi isu lain yang ’hangat’ atau dihangat-hangatkan untuk menggantikan ’ujung’ perdebatan golput itu haram tau tidak. Perdebatan golput itu haram atau tidak akan muncul 5 tahun lagi. Timing-nya, menjelang Pemilu.
Boleh jadi benar logika kaum penguasa yang menyatakan bahwa kalau ingin memperbaiki negeri ini harus aktif bermain sesuai sistem. Boleh jadi benar juga logika kaum golput yang memilih tidak terlibat dalam sistem untuk melemahkan sistem itu sendiri karena dinilai salah. Tetapi, yang terbukti benar dari hari ke hari adalah rakyat yang dibingungkan, rakyat yang diadudombakan, dan akhirnya dibiarkan menjadi korban.
Dengan terang benderang, sebernya kita bisa melihat di televisi atau media massa lain, kaum elit yang ngakunya saling berbeda ternyata bisa bersama (berkoalisi) demi sebuah kepentingan. Padahal, plattform mereka berbeda, kultur mereka berlainan, konstituen mereka berbeda lapisan. Padahal, rakyat konstituennya di akar rumput, telah berkelahi mati-matian demi hasutan ideologi politik mereka. Ada yang bersimbah darah, gosong dibakar, mati dicincang, hidup dengan kebencian dan amarah balas dendam, demi mengagungkan perbedaan yang diciptakan elit politik mereka. Ada yang terpisah dari keluarganya, ada yang terhilangkan kekayaannya, ada yang terengggut pekerjaannya. Apakah kaum elit politik, para pengiklan politik itu tahu? Mudah-mudahan hati mereka yang menjawab, bukan argumen basa basi yang bersayap
Selasa, 30 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar