Kebenaran dan Sifat-sifatnya V.S. Salah dan Keliru
Orang lazimnya memutlakkan kebenaran dan kepastian. Kebenaran adalah kebenaran dan kepastian adalah kepastian. Apa yang benar, apa yang pasti, itu mutlak. Apabila kebenaran, yaitu kebenaran epistemalogikal, itu ada pada pengetahuan, dan apabila sifat dan hakikat pengetahuan tersebut adalah relasional, intensional, evolutif, dan diskursif, bagaimanakah kita dapat mengatakan ada kepastian dan kebenaran yang sifatnya mutlak di dalam pengetahuan manusia tersebut? Di sinilah dilemanya.
Dalam konsteks epistemologi, di dalam pengetahuan yang benar, di mana terdapat suatu conformitas antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui selalu terkandung diformitas. Diformitas dalam pengetahuan dapat dibedakan antara diformitas total (diformitas positiva) dan diformitas relatif atau parsial ( diformitas negativa). Di dalam pengetahuan yang benar akan selalu terkandung negatif difformitas, tetapi tidaklah terkandung positif difformitas.
Dalam relasi subjek-objek, kebenaran ditinjau dari sudut subjeknya akan berarti kebenaran di dalam pengetahuan yang konkret akan tetapi akan selalu bervariasi. Karena, kebenaran si A akan beda dengan kebenaran si B, dan tidak akan sama dengan kebenaran si C dan seterusnya. Sementara itu kebenaran ditinjau dari aspek objeknya akan selalu berarti kebenaran epistemologikal yang tidak tuntas. Artinya objek itu sendiri adalah suatu totalitas yang kompleks, banyak segi dan aspeknya. Pengetahuan tidak pernah akan dapat menjamah seluruh objek itu di dalam totalitasnya. Maka itu kebenaran ditinjau dari segi objeknya akan selalu merupakan hal yang kurang sempurna, yang masih ada kekurangannya, atau yang masih harus disempurnakan. Ini artinya tidak bisa dikatakan mutlak sempurna.
Begitu pula dengan kepastian, baik itu kepastian manusiawi maupun kepastian metafisikal. Apa yang disebut kepastian dalam kepatian manusiawi ditentukan oleh kodrat manusia yang memiliki kemerdekaan, kemerdakaan yang berarti bebas dari dan bebas untuk. Dengan demikian kepastian manusiawi adalah suatu jenis kepastian yang tergantung dari kehendak bebas manusia sebagai salah satu faktor, bisa dikatakan pasti terjadi jika tidak diubah oleh faktor kemerdekaan manusia tersebut.
Sedangkan kepastian metafisikal adalah hal yang sifatnya amat intelektual. Kepastian ini sifatnya mutlak karena penyimpangan ataupun pengingkaran terhadap kepastian metafisikal akan berarti kontradiksi intelektual terhadap diri sendiri. Kepastian metafisikal terutama sekali ditujukan kepada para Skeptisi, yaitu aliran yang meragukan akan adanya kebenaran dan bahkan meragukan akan adanya pengetahuan manusia.
Ada Dalil yang berbicara tentang sifat kebenaran bahwa ditinjau dari subjeknya maka kebenaran epistemologikal itu tidaklah mutlak sifatnya; maka kebenaran itu juga dapat berubah dan dapat pula menjadi kurang atau lebih. Kebenaran epistemologikal adalah selalu kebenaran dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia , bahkan pengetahuan seorang manusia. Maka itu akan selalu bersifat subjektif, terbatas, dan evolutif, relasional, diskursif, sesuai dengan sifat hakikat manusia yang adalah mahluk yang terbatas, relatif, dan mengalami perubahan serta perkembangan, berada dalam lingkup tempat dan waktu, mensejarah dan memasyarakat. Pengetahuan manusia akan selalu bersifat manusiawi, begitu pula halnya dengan epistemologikalnya. Oleh karena itu, kebenaran ditinjau dari segi subjeknya dapat mengalami evolusi, perkembangan, dapat bertambah ataupun berkurang, baik mengenai hal yang diketahui maupun tentang cara mengetahui kebenaran itu.
Dalil lain berbunyi : ditinjau dari objeknya, kebenaran itu tidaklah mutlak sifat-nya. Maka itu ia dapat berubah dan dapat berkembang. Dengan demikian tidak pernah akan ada pengetahuan yang sifatnya tuntas ditinjau dari segi objeknya ini. Apalagi karena objek itupun berubah-ubah pula, tidak hanya statis sama sekali. Inilah yang disebut mutabilis et admittit gradus : dapat berubah dan dapat mengalami perkembangan, peningkatan, pengurangan. Kebenaran dan kepastian dapat menjadi bertambah baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, secara intensif maupun ekstensif atau sebaliknya menjadi kurang baik. Dalam arti inilah pengetahuan berfungsi sebagai alat manusia membudayakan dunia dan kepastian dan kebenaran akan memperbesar kemungkinan itu.
SALAH DAN KELIRU
Kalau pengetahuan itu adalah untuk mencapai kebenaran, mengapa dapat terjadi kesalahan dan mengapa manusia dapat keliru ? Secara umum kesalahan dan kekeliruan bersinonim. Kesalahan (falsity) adalah istilah yang merujuk kepada status dan kualitas di dalam hubungan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Sedangkan kekeliruan (error) adalah istilah yang menunjuk kepada actus, kepada kegiatan, aktivitas “mengetahui” yang ungkapannya adalah pernyataan kognitif intelektual manusia. Jadi kekeliruan terjadi dengan dibuatnya pernyataan yang di dalamnya terkandung kesalahan.
Apabila yang disebut benar adalah jika terdapat konformitas antara apa yang ada di dalam subjek yang mengetahui dengan apa yang senyatanya ada di dalam objek yang diketahui, maka salah dan keliru terjadi karena adanya diformitas di dalam pengetahuan; ada diformitas antara subjek dan objek. Diformitas tersebut adalah diformitas yang sifatnya positif; apa yang ada di dalam subjek betul-betul tidak ada senyatanya di dalam objek. Inilah perbedaan antara kebenaran dan kekeliruan apabila kita tinjau secara formal. Apabila ditinjau dari aspek subjek ataupun objeknya, perbedaan antara kebenaran dan kesalahan sifatnya contrary. Jadi, bukan pertentangan antara ada dan tidak ada melain-kan perbedaan gradasi dalam lingkup yang sama.
Kesalahan dan kekeliruan yang dibicarakan adalah selalu berkaitan dengan pengetahuan manusia, yaitu berada dalam lingkup kegiatan kognitif intelektual manusia. Maka itu sepertihalnya kebenaran, maka keslahan itupun terdapat pula di dalam proses purnanya kegiatan kognitif intelektual manusia. Lain halnya apabila kesalahan itu ditinjau dari aspek subjek atau objeknya; konfrontasi mutlak antara konformitas dan diformitas memang tidak begitu kentara. Di sini selalu dapat dikatakan bahwa kesalahan itu sifatnya relatif, tidak mutlak, dapat diubah, dapat kurang ataupun lebih. Kalau orang membuat kekeliruan tidak sepenuhnya disebabkan oleh proses kognitif intelektual, tetapi orang keliru apabila ia memberi kesepakatan pada kesalahan.
Hegel mengemukakan bahwa karena kebenaran iru itu sifatnya evolutif, maka kesalahan pun bagian dari evolusi. Kalau ini diyakini, maka sulitlah membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, dan mengapa yang ini dinilai benar sedangkan yang lain dinilai salah. Pemikiran Hegel ini sejalan dengan para penganut subjektivisme, pragmatisme, atau aliran yang masuk kelompok relativisme. Pandangan itu tentu tentu berbeda dengan yang menganut eksistensialime.
Kesalahan atau kekeliruan itu dapat diungkap dengan dengan dua jenis pernyataan kognitif –intelektual. Kesalahan dapat diungkap melalui pernyataan positif seperti : 2 ditambah 2 sama dengan 7; Pak Tani menanam padi di gedung DPR. Kesalahan dapat juga diungkap dengan pernyataan negatif seperti : 2 tambah 2 tidak sama dengan 4. Bandung itu tidak terletak di Jawa Barat. Pernyatan negatif bernuansa lebih tegas karena jelas-jelas menolak hal yang benar secara tegas. Berbeda dengan pernyataan positif yang lebih lentur dan memungkinkan pembauran kebenaran dengan kesalahan. Dalam pernyataan postif, 2 tambah 2 sama dengan delapan lebih mendekati benar dibanding dengan 2 tambah 2 sama dengan seratus.
Sehubungan dengan proses tindakan manusia di dalam membuat kekeliruan ini, kita lihat enam tataran pengetahuan. Pertama adalah nesciense. Kedua adalah ignorance. Ketiga adalah doubt. Keempat adalah suspicion. Kelima adalah opinion. Dan terakhir, keenam adalah certitude. Kekeliruan biasa terjadi manakala manusia membuat tataran doubt, suspicion, dan tataran opinion, menjadi sama dengan tataran certitude.
Hikmah yang dapat kita simpulkan dari pembahasan di atas adalah: apabila kita menginginkan agar pertumbuhan cognitif intelektual untuk mencapai kebenaran dan kepastian secara sadar, maka proses itu harus dibarengi dengan disiplin, latihan, dan pengendalian diri. Hikmah lain adalah : bukan pikiran yang mengetahui, akan tetapi manusialah yang mengetahui.
Senin, 22 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar