Selasa, 30 Desember 2008

RANJAU IKLAN POLITIK 2009

IKLAN POLITIK 2009

Tahun 2009 adalah tahun pemilu bagi bangsa Indonesia. Geliatnya sudah terasa sepanjang tahun 2008. Pengkondisian, setting, pembentukan citra, dan sebangsanya telah dilakukan para pelaku politik bangsa ini. Adu iklan ditelevisi, tebar pesona dengan basa-basi politik dalam ’talk show’, atau mejeng melalui baliho atau poster-poster di pinggir jalan.

Dari jalan-jalan besar sampai ke gang-gang tikus, ribuan foto caleg terpampang menebar senyum. Kalau Anda perhatikan kontras sekali antara perlentenya tampilan caleg dangan berlobangnya jalan dimana baliho itu dipajangkan. Kumuhnya perumahan, bertebarannya kaum miskin, lusuh-lesunya pengantri minyak tanah, BLT, dan sejenisnya sama sekali tidak relevan dengan tampilan wajah para caleg yang tampak lebih ingin menjadi selebriti daripada pejuang hati nurani rakyat.

Di televisi, dua-dua partai politik diadu dalam debat panas. Berbusa-busa mulut mereka mengadu argumentasi seolah-olah itulah sesuatu yang dingin dalam ‘mimipi’ rakyat Indonesia. Bahkan gestur tubuh, raut muka, dan ramainya interupsi dan sorakan mereka sama sekali jauh dari masalah yang dihadapi rakyat sekarang ini.

Itu semua adalah iklan politik. Apakah iklan yang mencerahkan? Iklan yang membingungkan? Iklan yang membodohkan? Siapa yang bisa memberikan kepastian?

Objek semua iklan itu tentu adalah arah pilihan rakyat. Ke arah mana coretan pena diarahkan, partai apa dan caleg yang mana, atau capres atau cawapres yang mana,

Dimusim pemilu, pilihan rakyat adalah primadona yang jadi fokus target kerja pelaku politik. Seperti Anda maklum, jika pemilu itu telah berlangsung, lalu sebagian pelaku politik keluar jadi pemenang, menjadi anggota legeslatif ’yang terhormat’ atau jadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, keinginan rakyat belum tentu jadi fokus targer kerja mereka lagi.

Ketika siklus itu terus berlangsung, dan ujung-ujungnya banyak rakyat yang dikecewakan, Pemilu sebagai bagian dari sistem pengelolaan bangsa ini menuju kerah yang lebih baik, semakin kehilangan wibawanya. Bertambah rendahnya partisipasi rakyat dari masa ke masa dalam memberikan hak suaranya menunjukkan bahwa kepercayaan rakyat terhadap pelaku politik bangsa ini sudah mulai luntur. Dari waktu kewaktu kesadaran rakyat bahwa suara mereka hanya dimanfaatkan saja-tidak lebih- menimbulkan kemuakan. Sebagian rakyat yang muak ini kemudian banyak yang berani mengkampanyekan golput. Golput atau golongan putih, atau golongan yang tidak mau memilih pelaku politik manapun, adalah ekspresi ketidak percayaan, kemuakan, atau keputusasaan rakyat terhadap harapan yang lebih baik kepada para pelaku politik.

Dalam sejarah politik bangsa ini, mungkin juga dalam sejarah umat manusia, golput biasanya diisi oleh orang-orang yang kecewa. Lawan politik mereka menyebutnya ’gerakan sakit hati’, kelompok pecundang, yang kalah dalam persaingan politik. Golongan ini bukan pemegang kekuasaan tentunya, mereka tidak punya kekuatan mengambil alih. Kekuatan golongan ini adalah kelompok orang ’mutung’, ’minggat’.’nge-WO’, mundur dari arena pertarungan lalu menjauh jadi penonton yang penggerutu dan dengan persaaan hati yang masgul.

Kelompok elit politik yang berkuasa biasanya berusaha meyakinkan rakyat bahwa golput ini tidak layak diikuti. Fatwa bahwa golput itu haram telah menjadi pernyataan politik musiman menjelang pemilu. Dari periode ke periode pemilu, fenomena golput dan cap bahwa golput itu haram merupakan pasangangan yang debatable, jadi pergunjingan, diskusi hangat, bahkan sampai ke pertenggkaran. Tetapi ujungnya sama, yaitu tidak ada ujungnya. Rakyat disuguhi isu lain yang ’hangat’ atau dihangat-hangatkan untuk menggantikan ’ujung’ perdebatan golput itu haram tau tidak. Perdebatan golput itu haram atau tidak akan muncul 5 tahun lagi. Timing-nya, menjelang Pemilu.

Boleh jadi benar logika kaum penguasa yang menyatakan bahwa kalau ingin memperbaiki negeri ini harus aktif bermain sesuai sistem. Boleh jadi benar juga logika kaum golput yang memilih tidak terlibat dalam sistem untuk melemahkan sistem itu sendiri karena dinilai salah. Tetapi, yang terbukti benar dari hari ke hari adalah rakyat yang dibingungkan, rakyat yang diadudombakan, dan akhirnya dibiarkan menjadi korban.
Dengan terang benderang, sebernya kita bisa melihat di televisi atau media massa lain, kaum elit yang ngakunya saling berbeda ternyata bisa bersama (berkoalisi) demi sebuah kepentingan. Padahal, plattform mereka berbeda, kultur mereka berlainan, konstituen mereka berbeda lapisan. Padahal, rakyat konstituennya di akar rumput, telah berkelahi mati-matian demi hasutan ideologi politik mereka. Ada yang bersimbah darah, gosong dibakar, mati dicincang, hidup dengan kebencian dan amarah balas dendam, demi mengagungkan perbedaan yang diciptakan elit politik mereka. Ada yang terpisah dari keluarganya, ada yang terhilangkan kekayaannya, ada yang terengggut pekerjaannya. Apakah kaum elit politik, para pengiklan politik itu tahu? Mudah-mudahan hati mereka yang menjawab, bukan argumen basa basi yang bersayap

Senin, 22 Desember 2008

Kebenaran dan Sifat-sifatnya V.S. Salah dan Keliru

Kebenaran dan Sifat-sifatnya V.S. Salah dan Keliru

Orang lazimnya memutlakkan kebenaran dan kepastian. Kebenaran adalah kebenaran dan kepastian adalah kepastian. Apa yang benar, apa yang pasti, itu mutlak. Apabila kebenaran, yaitu kebenaran epistemalogikal, itu ada pada pengetahuan, dan apabila sifat dan hakikat pengetahuan tersebut adalah relasional, intensional, evolutif, dan diskursif, bagaimanakah kita dapat mengatakan ada kepastian dan kebenaran yang sifatnya mutlak di dalam pengetahuan manusia tersebut? Di sinilah dilemanya.
Dalam konsteks epistemologi, di dalam pengetahuan yang benar, di mana terdapat suatu conformitas antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui selalu terkandung diformitas. Diformitas dalam pengetahuan dapat dibedakan antara diformitas total (diformitas positiva) dan diformitas relatif atau parsial ( diformitas negativa). Di dalam pengetahuan yang benar akan selalu terkandung negatif difformitas, tetapi tidaklah terkandung positif difformitas.
Dalam relasi subjek-objek, kebenaran ditinjau dari sudut subjeknya akan berarti kebenaran di dalam pengetahuan yang konkret akan tetapi akan selalu bervariasi. Karena, kebenaran si A akan beda dengan kebenaran si B, dan tidak akan sama dengan kebenaran si C dan seterusnya. Sementara itu kebenaran ditinjau dari aspek objeknya akan selalu berarti kebenaran epistemologikal yang tidak tuntas. Artinya objek itu sendiri adalah suatu totalitas yang kompleks, banyak segi dan aspeknya. Pengetahuan tidak pernah akan dapat menjamah seluruh objek itu di dalam totalitasnya. Maka itu kebenaran ditinjau dari segi objeknya akan selalu merupakan hal yang kurang sempurna, yang masih ada kekurangannya, atau yang masih harus disempurnakan. Ini artinya tidak bisa dikatakan mutlak sempurna.
Begitu pula dengan kepastian, baik itu kepastian manusiawi maupun kepastian metafisikal. Apa yang disebut kepastian dalam kepatian manusiawi ditentukan oleh kodrat manusia yang memiliki kemerdekaan, kemerdakaan yang berarti bebas dari dan bebas untuk. Dengan demikian kepastian manusiawi adalah suatu jenis kepastian yang tergantung dari kehendak bebas manusia sebagai salah satu faktor, bisa dikatakan pasti terjadi jika tidak diubah oleh faktor kemerdekaan manusia tersebut.
Sedangkan kepastian metafisikal adalah hal yang sifatnya amat intelektual. Kepastian ini sifatnya mutlak karena penyimpangan ataupun pengingkaran terhadap kepastian metafisikal akan berarti kontradiksi intelektual terhadap diri sendiri. Kepastian metafisikal terutama sekali ditujukan kepada para Skeptisi, yaitu aliran yang meragukan akan adanya kebenaran dan bahkan meragukan akan adanya pengetahuan manusia.
Ada Dalil yang berbicara tentang sifat kebenaran bahwa ditinjau dari subjeknya maka kebenaran epistemologikal itu tidaklah mutlak sifatnya; maka kebenaran itu juga dapat berubah dan dapat pula menjadi kurang atau lebih. Kebenaran epistemologikal adalah selalu kebenaran dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia , bahkan pengetahuan seorang manusia. Maka itu akan selalu bersifat subjektif, terbatas, dan evolutif, relasional, diskursif, sesuai dengan sifat hakikat manusia yang adalah mahluk yang terbatas, relatif, dan mengalami perubahan serta perkembangan, berada dalam lingkup tempat dan waktu, mensejarah dan memasyarakat. Pengetahuan manusia akan selalu bersifat manusiawi, begitu pula halnya dengan epistemologikalnya. Oleh karena itu, kebenaran ditinjau dari segi subjeknya dapat mengalami evolusi, perkembangan, dapat bertambah ataupun berkurang, baik mengenai hal yang diketahui maupun tentang cara mengetahui kebenaran itu.
Dalil lain berbunyi : ditinjau dari objeknya, kebenaran itu tidaklah mutlak sifat-nya. Maka itu ia dapat berubah dan dapat berkembang. Dengan demikian tidak pernah akan ada pengetahuan yang sifatnya tuntas ditinjau dari segi objeknya ini. Apalagi karena objek itupun berubah-ubah pula, tidak hanya statis sama sekali. Inilah yang disebut mutabilis et admittit gradus : dapat berubah dan dapat mengalami perkembangan, peningkatan, pengurangan. Kebenaran dan kepastian dapat menjadi bertambah baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, secara intensif maupun ekstensif atau sebaliknya menjadi kurang baik. Dalam arti inilah pengetahuan berfungsi sebagai alat manusia membudayakan dunia dan kepastian dan kebenaran akan memperbesar kemungkinan itu.

SALAH DAN KELIRU
Kalau pengetahuan itu adalah untuk mencapai kebenaran, mengapa dapat terjadi kesalahan dan mengapa manusia dapat keliru ? Secara umum kesalahan dan kekeliruan bersinonim. Kesalahan (falsity) adalah istilah yang merujuk kepada status dan kualitas di dalam hubungan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Sedangkan kekeliruan (error) adalah istilah yang menunjuk kepada actus, kepada kegiatan, aktivitas “mengetahui” yang ungkapannya adalah pernyataan kognitif intelektual manusia. Jadi kekeliruan terjadi dengan dibuatnya pernyataan yang di dalamnya terkandung kesalahan.
Apabila yang disebut benar adalah jika terdapat konformitas antara apa yang ada di dalam subjek yang mengetahui dengan apa yang senyatanya ada di dalam objek yang diketahui, maka salah dan keliru terjadi karena adanya diformitas di dalam pengetahuan; ada diformitas antara subjek dan objek. Diformitas tersebut adalah diformitas yang sifatnya positif; apa yang ada di dalam subjek betul-betul tidak ada senyatanya di dalam objek. Inilah perbedaan antara kebenaran dan kekeliruan apabila kita tinjau secara formal. Apabila ditinjau dari aspek subjek ataupun objeknya, perbedaan antara kebenaran dan kesalahan sifatnya contrary. Jadi, bukan pertentangan antara ada dan tidak ada melain-kan perbedaan gradasi dalam lingkup yang sama.
Kesalahan dan kekeliruan yang dibicarakan adalah selalu berkaitan dengan pengetahuan manusia, yaitu berada dalam lingkup kegiatan kognitif intelektual manusia. Maka itu sepertihalnya kebenaran, maka keslahan itupun terdapat pula di dalam proses purnanya kegiatan kognitif intelektual manusia. Lain halnya apabila kesalahan itu ditinjau dari aspek subjek atau objeknya; konfrontasi mutlak antara konformitas dan diformitas memang tidak begitu kentara. Di sini selalu dapat dikatakan bahwa kesalahan itu sifatnya relatif, tidak mutlak, dapat diubah, dapat kurang ataupun lebih. Kalau orang membuat kekeliruan tidak sepenuhnya disebabkan oleh proses kognitif intelektual, tetapi orang keliru apabila ia memberi kesepakatan pada kesalahan.
Hegel mengemukakan bahwa karena kebenaran iru itu sifatnya evolutif, maka kesalahan pun bagian dari evolusi. Kalau ini diyakini, maka sulitlah membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, dan mengapa yang ini dinilai benar sedangkan yang lain dinilai salah. Pemikiran Hegel ini sejalan dengan para penganut subjektivisme, pragmatisme, atau aliran yang masuk kelompok relativisme. Pandangan itu tentu tentu berbeda dengan yang menganut eksistensialime.
Kesalahan atau kekeliruan itu dapat diungkap dengan dengan dua jenis pernyataan kognitif –intelektual. Kesalahan dapat diungkap melalui pernyataan positif seperti : 2 ditambah 2 sama dengan 7; Pak Tani menanam padi di gedung DPR. Kesalahan dapat juga diungkap dengan pernyataan negatif seperti : 2 tambah 2 tidak sama dengan 4. Bandung itu tidak terletak di Jawa Barat. Pernyatan negatif bernuansa lebih tegas karena jelas-jelas menolak hal yang benar secara tegas. Berbeda dengan pernyataan positif yang lebih lentur dan memungkinkan pembauran kebenaran dengan kesalahan. Dalam pernyataan postif, 2 tambah 2 sama dengan delapan lebih mendekati benar dibanding dengan 2 tambah 2 sama dengan seratus.
Sehubungan dengan proses tindakan manusia di dalam membuat kekeliruan ini, kita lihat enam tataran pengetahuan. Pertama adalah nesciense. Kedua adalah ignorance. Ketiga adalah doubt. Keempat adalah suspicion. Kelima adalah opinion. Dan terakhir, keenam adalah certitude. Kekeliruan biasa terjadi manakala manusia membuat tataran doubt, suspicion, dan tataran opinion, menjadi sama dengan tataran certitude.
Hikmah yang dapat kita simpulkan dari pembahasan di atas adalah: apabila kita menginginkan agar pertumbuhan cognitif intelektual untuk mencapai kebenaran dan kepastian secara sadar, maka proses itu harus dibarengi dengan disiplin, latihan, dan pengendalian diri. Hikmah lain adalah : bukan pikiran yang mengetahui, akan tetapi manusialah yang mengetahui.

Konsep Dasar Pmbelajaran Membaca

Konsep Dasar Pmbelajaran Membaca Kritis

Konsep pembelajaran membaca dilihat dari tujuan penciptaan komunikasi yang bermakna dan pewujudan pembaca yang teratur dan antusias, menurut Duffy dan Roehler (1989:ii), bisa dideskripsikan dengan memilahnya menjadi tiga rumpun tujuan yaitu rumpun sikap (attitude goals), proses (process goals), dan isi (content goals). Rumpun tujuan sikap bermuara pada pencapaian pemahaman dan apresiasi dalam membaca melalui pengajaran tidak langsung. Rumpun tujuan proses bermuara pada pencapaian kemampuan yang ditandai dengan kelancaran (fluency) dalam studi dan pemahaman komprehensif teks. Rumpun tujuan isi bermuara pada kendali pemahaman melalui aktivitas membaca, aktivitas menyimak, dan aktivitas membaca dan berfikir.

Membaca kritis dalam kerangka pemikiran Duffy dan Roehler di atas termasuk dalam rumpun tujuan proses. Rumpun tujuan proses itu sendiri pada awalnya terbagi dua yaitu rumpun keterampilan rutin (routine skills) dan strategi metakognitif (metacognitive strategies). Keterampilan rutin mencakup pengenalan kata dan penguasaan kosakata. Pengenalan kata mesti didasari pemahaman penguasaan konvensi bahasa dan unit-unit linguistik. Penguasaan dua dasar pemahaman itu diharapkan membentuk kecepatan mengenali huruf (instant recognition of words). Di sisi lain, penguasaan kosakata berkaitan dengan pemahaman makna, penguasaan ini akan membentuk kemampuan mengenali makna dengan cepat (instant recognition of word meaning). Kemampuan mengenali kata dengan kemampuan mengenali makna secara sinergis akan membentuk kemampuan dalam memahami teks dengan tepat dan cepat.

Strategi metakognitif terbagi menjadi empat jenis strategi yaitu strategi dalam memulai, strategi pada saat membaca, strategi pada akhir membaca, dan strategi belajar. Tiga strategi pertama berfokus pada kronologi kegiatan membaca sedangkan strategi keempat menekankan pada penerapan membaca sebagai salah satu strategi cara belajar. Strategi pertama berintikan pada peramalan makna; strategi kedua terdiri atas strategi pengenalan bentuk kata (analisis struktur, konteks, dan fonik), makna kata (konteks dan analisis struktur), dan pemahaman (pesan penulis dan apa yang ada dibalik pesan tersebut). Strategi pada saat membaca ini bertujuan untuk menghilangkan halangan (removing blockages) yang mengakibatkan pada kesalahan pemahaman. Strategi ketiga atau strategi pada akhir membaca (disebut pula strategi membaca kritis) terbagi atas pemahaman organisasi dan penilaian, intinya untuk mendapat pemahaman yang lebih luas. Strategi keempat agak berbeda dengan ketiga strategi sebelumnya . Strategi ini berkaitan dengan cara belajar (study strategies) yang intinya bertujuan untuk meningkatkan efesiensi dalam belajar. Di dalamnya tercakup kebiasaan belajar, lokasi belajar, kecepatan, strategi pengorganisasian, dan cara mengingat.
Dalam kerangka pikir pembelajaran membaca yang dirancang Duffy dan Roehler di atas, penelitian ini terletak pada rumpun tujuan proses strategi metakognitif (metacognitive strategies), khususnya pada proses pemahaman dan penilaian.


1. Pengertian dan Ciri Membaca Kritis

Menurut konsep dasar pengajaran membaca yang dirancang oleh Duffy dan Roehler di atas, membaca kritis dilakukan pada akhir proses membaca. Ada dua kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu mengorganisasi dan mengevaluasi. Kegiatan mengorganisasi mencakup proses merangkum (summarizing), menentukan tema atau sudut pandang utama, dan menarik kesimpulan. Kegiatan ini pada intinya adalah merestruktur makna teks atau dengan kata lain merekonstruksi pemikiran penulis yang tertuang dalam tulisannya tersebut.
Tahap mengevaluasi berisi kegiatan menilai pesan yang diungkapkan penulis. Yang dinilai adalah keterpercayaan penulis, penggunaan fakta, bias, propaganda, atau validitas kesimpulan yang dirumuskan penulis.

Ahmad Slamet Hardjasudjana mendefinisikan membaca kritis sebagai kegiatan menerapkan kriteria yang relevan dalam mengevaluasi suatu bahan bacaan (1986:5.2). Bentuk berpikir yang dominan dilakukan dalam kegiatan membaca ini adalah mengidentifikasi, menganalisis, melakukan inferensi, menghubungkan, menilai, dan aplikasi. Untuk bisa melakukan kegiatan membaca seperti ini dibutuhkan empat prasyarat pokok sebagai berikuit:
a. Pengetahuan yang memadai pada bidang materi yang dibacanya;
b. Sikap menilai yang hati-hati;
c. Kemampuan menerapkan metode analisis yang logis; dan
d. Konsekuen mengambil kesimpulan dan mengambil tindakan berdasarkan temuan analisis.

Agak berbeda dengan Duffy dan Roehler, Nurhadi (1987:145) melihat membaca kritis sebagai salah satu dari tiga tingkat kemampuan membaca. Ia berpendapat bahwa jenjang kemampuan membaca meliputi tiga tingkat, yaitu kemampuan membaca literal, kemampuan membaca kritis, dan membaca kreatif. Kemampuan membaca literal adalah kemampuan mengenal dan menyatakan kembali unsur-unsur tersurat dalam bacaan (reading the lines). Kemampuan membaca kritis adalah kemampuan mengolah bahan bacaan secara kritis (reading between the lines dan reading beyond the lines). Kemampuan membaca kreatif adalah kemampuan menerapkan dan menghubungkan hasil baca dengan konteks kehidupan yang lebih luas.
Dengan merujuk pada pendapat Edgar Dale, Nurhadi mendeskripsikan detail reading between the lines sebagai berikut :
a. kemampuan menafsirkan ide pokok paragraf;
b. kemampuan menafsirkan gagasan utama bacaan;
c. kemampuan menafsirkan ide-ide penunjang;
d. kemampuan membedakan fakta-fakta atau detail bacaan;
e. kemampuan memahami secara kritis hubungan sebab akibat;
f. kemampuan memahami secara kritis unsur-unsur perbandingan (Nurhadi, 1987: 153).

Ciri lanjutan kemampuan membaca kritis menurut Nurhadi adalah adanya kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep dalam bacaan ke dalam situasi baru yang bersifat problematis dan kemampuan menunjukkan kesesuaian antara gagasan utama dengan situasi yang dihadapi. Kemampuan yang sangat dituntut dalam membaca kritis adalah kemampuan menafsirkan. Kemampuan menafsirkan ini membutuhkan kemampuan menganalisis isi bacaan. Kemampuan menganalisis adalah kemampuan pembaca melihat komponen-komponen atau unsur-unsur yang membentuk sebuah kesatuan. Dalam kegiatan membaca, kemampuan menganalisis yang diperlukan meliputi kemampuan memisahkan gagasan utama dengan detail atau fakta penunjang, kemampuan mengklasifikasi fakta, kemampuan membandingkan antargagasan yang ada dalam bacaan, dan kemampuan membandingkan tokoh-tokoh yang ada dalam bacaan.
Kemampuan lain yang termasuk membaca kritis adalah kemampuan membuat sintesis. Ketika penulis tidak mengungkapkan secara eksplisit gagasan utama yang ia sampaikan, pembaca harus berupaya sendiri secara kritis menyimpulkan gagasan utama itu. Kemampuan yang termasuk dalam kemampuan membuat sintesis adalah kemampuan membuat kesimpulan, mengorganisasi gagasan utama, menentukan tema bacaan, menyususn kerangka bacaan, menghubungkan data-data sehingga diperoleh kesimpulan, dan kemampuan membuat ringkasan.

Setelah kemampuan memahami makna tersurat dan tersirat, kemampuan menganalis dan sintesis, kemampuan yang menjadi ciri k
Kemampuan membaca kritis adalah kemampuan menilai. Nurhadi mengemukakan tujuh rincian kemampuan menilai sebagai berikut :
a. kemampuan menilai kebenaran gagasan utama atau ide pokok paragraf atau bacaan secara keseluruhan;
b. kemampuan menilai dan menentukan bahwa sebuah pernyataan adalah fakta atau sekedar opini;
c. kemampuan menilai atau menentukan bahwa sebuah bacaan itu diangkat dari realitas atau fantasi pengarang;
d. kemampuan menentukan tujuan pengarang dalam menulis karangannya; kemampuan menentukan relevansi antara tujuan dengan pengembangan gagasan;
e. kemampuan menentukan keselarasan antara data yang diungkapkan dengan kesimpulan yang dibuat;
f. kemampuan menilai keakuratan dalam penggunaan bahasa baik pada tataran kata, frase, atau penyusunan kalimat.

Kurland (http://www.critical reading.com) mempertegas bahwa dalam kegiatan membaca kritis, kegiatan membaca yang dilakukan tidak hanya untuk mengenali apa yang dikatakan teks tetapi juga menilik bagaimana teks itu menjelaskan pesan intinya, bagaimana pengarang mengatur strategi menyusun data dalam mengungkapkan contoh, membuat alasan, menarik simpati, mempertegas kontras suatu masalah, sampai pembaca paham benar makna keseluruhan yang menjadi inti teks dengan strategi penyampaiannya.
Kurland menegaskan tiga tujuan utama membaca kritis yaitu mengenali tujuan penulis, memahami nada dan elemen persuasi, serta menilik kemungkinan adanya bias. Alat yang digunakan dalam berpikir kritis adalah analisis dan inferensi. Analisis digunakan untuk mencari apa yang dibicarakan sedangkan inferensi digunakan untuk memikirkan apa yang didapat.

Lebih lanjut Kurland menyampaikan tiga tahap utama proses membaca kritis. Tahap pertama, sama dengan pendapat Nurhadi, adalah kegaiatan membaca untuk mencari makna literal. Membaca makna literal ini mencakup proses pengenalan dan pemahaman struktur dan makna kata, kalimat, termasuk asosiasi dan ungkapan. Tahap kedua adalah proses menganalisis dan penggambaran elemen, pola, dan hubungan antarelemen tersebut. Elemen dan pola yang dimaksud adalah isi (content), bahasa, dan struktur. Tahap terhakhir adalah menginterpretasi makna secara keseluruhan. Interpretasi itu dilakukan berdasarkan elemen-elemen teks dan bagaimana elemen-elemen itu dijalin menjadi satu kesatuan. Pada tiap tahap tersebut terjadi penilaian dengan mencari kemungkinan adanya bias.
Bentuk konkret kegiatan menilai suatu teks dalam proses membaca kritis, dicontohkan Hardjasujana (1986: 5.11-5.12) dalam bentuk tabel berikut :


Isi
· Fakta atau opini
· satu sisi atau dari berbagai sisi
· adakah upaya membandingkan perbedaan dan persamaan
· Kelebihan ide/informasi dibanding penulis lain
· pendapat pembaca sendiri tentang ide/informasi bacaan
· ada tidaknya penghilangan materi yang relevan
· ada tidaknya membicarakan yang tidak perlu

Organisasi
pola dan teknik pengembangan deduktif ataukah induktif
bagaimana jalan pikiran dan cara penyusunan idenya dibanding penulis lain, apakah lebih logis dan mudah dipelajari
Gaya
· ketapatan diksi kosakata
· kejelasan alur transisi
· ketepatan pemilihan gaya menulis (puitis, liris, satiris, analitis, atau anekdotis)
bagaimana gaya penulis jika dibandingkan dengan gaya penulis lainnya, mana yang lebih cocok untuk topik itu

Dengan merujuk pada uraian Thouless, Hardjasujana (1986:5.17-5.20) mengemukakan sepuluh tanda-tanda yang harus diwaspadai dan diantisipasi pembaca kritis

Tanda-tanda yang Harus Diwaspadai
Antisipasi
1
Penggunaan kata-kata emosional
terjemahkan ke dalam kata-kata netral
2
Pernyataan salah yang hanya mencakup sebagian saja
masukkan kata semua atau seluruh sehingga terlihat salahnya
3
penggunaan contoh yang ekstrim seolah-olah representattif
tunjukkan bagian dari contoh yang tidak representatif
4
pernyataan yang tidak ajeg atau tidak logis
tunjukkan bahwa dua kalimat itu tidak berhubungan
5
pernyataan kompromi dengan alasan emosional
tunjukkan sifat emosional dalam pernyataan itu kemudian gambarkan situasi yang sebenarnya
6
bernalar dalam lingkaran (memancing pertanyaan)
buatlah preposisi dengan istilah yang sederhana
7
penggunaan jargon yang bombastis
ubahlah kata-kata yang bernada menanjak dengan kata-kata sederhana yang mudah dipahami
8
perubahan makna kata
kembalikan ke makna asal
9
penggunaan panggilan yang eksplosif
Netralkan dari khayalan jelek
10
berpikir tabloid, berpikir melalui genaralisasi
carilah contoh-contoh yang khusus atau lebih konkret

Hardjasujana (1986: 5.22-5.23). merangkum proses kegiatan berpikir dengan tujuh langkah prosedur berikut :
a. Berpikirlah kritis. Membaca kritis menuntut aktivitas, kewaspadaan, dan kebijaksanaan dalam memberikan penghargaan maupun celaan. Membaca kritis bukanlah membeo kata-kata pengarang;
b. Lihatlah apa yang ada dibalik kata-kata itu untuk mengetahui motivasi penulis;
c. Waspadalah terhadap kata-kata yang mempunyai sifat berlebihan, tidak tentu batasnya, emosional, ekstrim, dan merupakan genaralisasi yang berlebihan seperti kata hanya, mustahil, pasti,sempurna,setiap, dan sejenisnya.;
d. Waspadapah terhadap perbandingan yang tidak memenuhi persyaratan;
e. Cermati logika penulis yang tidak logis. Kadangkala penulis menggunakan kalimat-kalimat dan jalan berpikir yang tidak hati-hati.
f. Perhatikan pernyataan yang Anda baca itu secara persegi dan tidak emosional. Berhati-hatilah jangan sampai mencoba mencari sesuatu di dalam pernyataan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kata-kata yang ada pada baris-baris bacaan;
g. Janganlah Anda bingung karena Anda tidak mengetahui apa yang telah Anda baca itu mesti sesuai dengan pikiran penulis. Anda tidak usah setuju dengan apa yang Anda baca, namun demikian Anda dituntut memahami apa yang Anda baca. Jangan kacaukan yang bersifat emosional dengan intelektual.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa membaca kritis merupakan kegiatan membaca yang didalamnya terdapat unsur pemahaman dan penilaian. Unsur pemahaman mencakup pemahaman terhadap isi pesan dan cara penyampaiannya (strategi pengorganisasian) sedangkan unsur penilaian mencakup penialaian terhadap kebenaran isi pesan dan ketepatan cara penyampaiannya, termasuk di dalamnya keefektivan penggunaan bahasa.

Dengan dasar pemahaman makna membaca kritis di atas, maka kemampuan membaca kritis sesorang dapat diukur dari ketepatannya memahami isi dan cara penyampaian pesan dalam suatu wacana, serta kekritisannya dalam menilai kebenaran isi pesan dan ketepatan cara penyampaianya. Dasar pemahaman inilah yang akan dijadikan dasar penilaian kemampuan membaca kritis dalam penelitian ini.





PENYUSUNAN LAPORAN PENELITIAN

Akhir dari suatu proses penelitian adalah pelaporan, peringkasan dan penafsiran hasil penelitian. Topik-topik yang diperhatikan dalam bagian ini adalah : Apa temuan utama penelitian ? Apa arti dari semua temuan itu ? Apa yang bisa dipelajari dari temuan itu ? Apa implikasinya? Bagaimana kontribusinya terhadap pengatuan? Apa rekomendasi yang bisa diajukan ?

Isi laporan hasil penelitian akan berbeda-beda sesuai dengan jenis/tipe penelitian dan jenis teknik analisis datanya. Pada penelitian kuantitatif, laporan akan banyak diisi perhitungan statistik, ilustrasi tabel, grafik, dan bagan (chart). Tetapi untuk penelitian kualitatif, pelaporan akan didominiasi oleh deskripsi detail hasil proses penelitian dan gambaran pola dan kategori hasil penelitian. Pada penelitian kuantitatif dengan analisis data deskripsi, hasil penelitian digambarkan dalam bentuk tabel yang menunjukkan rata-rata, standar deviasi, frekuensi, dan ukuran sampel. Jika teknik analisis yang digunakan korelasi, maka isinya berupa matriks yang berisi koefesien korelasi, tingkat kepercayaan, dan ukuran sampel. Pada penelitian eksperimen akan ada nilai F dan nilai t beserta tingkat kebebasan dan signifikansi (nilai P).

Seperti halnya penelitian kuantitatif, pelaporan penelitian kualitataif pun bergantung pada tipe analisis dan metode yang digunakan. Jika teknik analisis pengatagorian yang dilakukan maka analisinya akan berupa penggunaan dan organisasi skema, frekuensi, dan bukti-bukti yang mendukung pola kotegori tersebut. Yang lebih penting dalam penelitian ini adalah deskripsi proses penelitian dan dokumentasinya.
Hasil penelitian yang dilaporkan berisi pula hasil penafsiran. Pada bagian kesimpulan, didiskusikan arti penting hasil penelitian dan menempatkannya dalam satu prespektif, konteks umum, dan ruang lingkup yang lebih luas. Di dalamnya juga dimuat implikasi yang merupakan suatu konsekuensi hasil penelitian yang telah dihubungkan dengan kerangka konseptual dan teoretikal topik penelitian. Sedangkan rekomendasi bersisi saran baik umum mapun khusus yang berkaitan dengan penggunaan, aplikasi, dan pemanfaatan hasil penelitian.

A. Jenis –Jenis Laporan Penelitian
Laporan penelitian berbeda-beda, ada yang berupa artikel jurnal, skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, atau makalah konfrensi. Artikel jurnal lebih menekankan pada cara informatif yang berfokus pada penggambaran tujuan, reviu literatur, prosedur penelitian, dan interpretasi hasil. Penggunaan tabel, bagan, atau grafik banyak digunakan. Isi dan penekanan artikel pada jurnal bervariasi bergantung pada minat pembacanya.

Skripsi, tesis, danu disertasi adalah format laporan penelitian yang digunakan oleh mahasiswa pada level perguruan tinggi. Isinya berupa gambaran detail tiap tahapan penelitian termasuk di dalamnya signifikasi studi, rasionalisasi, reviu literatur, instrumen penelitian dan pengembangannya, deskripsi proses analisis dan hasil, dan interpretasi yang dituangkan dalam kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi. Sebelum mengadakan penelitian, mahasiswa biasanya mengajukan proposal penelitian. Proposal berisi deskripsi rencana penelitian, dengan penekanan pada spesifikasi dan rasionalisasi signifikasi penelitian, survey wilayah penelitian, deskripsi prosedur yang digunakan, dan deskripsi kontribusi penelitian.

Laporan penelitian adalah format laporan yang merujuk pada dokumen yang disediakan oleh agensi yang ditunjang oleh yayasan penelitian. Isinya gambaran proses penelitian yang dilakukan, hasil akhir, ringkasan hasil termasuk kesimpulan dan saran yang didasari oleh studi keseluruhan.
Makalah konfrensi adalah salah satu cara melaporkan hasil penelitian pada even seperti seminar, konfrensi, atau kolokium. Hasil penelitian itu disampaikan secara lisan. Fokusnya pada elemen esensial penelitian. 'Hand-out'nya digambarkan dalam bentuk transparan.


B. Laporan Penelitian Berbentuk Skripsi

Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang menjadi salah satu syarat memperoleh gelar akademik sajana strata satu (S1). Skripsi merupakan laporan ilmiah hasil kajian literatur atau penelitian. Sebagai hasil dari sebuah proses kajian atau penelitian, maka tahapan penyusunan skripsi tidak terlepas dari tahapan proses penelitian itu sendiri. Faktor lain yang juga mempegaruhi penyusunan skripsi, terutama dalam hal kelengkapan dan struktur isi adalah konvensi akademis perguruan tinggi tempat mahasiswa tersebut menimba ilmu.
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Islam Nusantara mewajibkan seluruh mahasiswanya menulis skripsi sebagai salah satu syarat penyelesaian studi. Program penyelesaian studi dengan penulisan skripsi ini sengaja dirancang sebagai wahana belajar sekaligus pembuktian hasil studi mahasiswa dalam bentuk penulisan karya tulis ilmiah.
Ada tiga tahapan proses penyusunan skripsi, yaitu tahap persiapan, tahap penelitian, dan tahap pelaporan.

1. Tahap Persiapan
Sebagai langkah awal, mahasiswa menyusun usulan (proposal) penulisan skripsi, yang memuat:
a. Judul skripsi
b. Latar belakang masalah
c. Perumusan dan pembatasan masalah
d. Tujuan dan kegunaan penelitian
e. Penjelasan istilah (Definisi oprasional)
f. Tinjauan Pustaka (dari buku, jurnal, internet, dan laporan penelitian yang relevan)
g. Anggapan dasar
h. Hipotesis (bila ada)
i. Metodologi, mencakup sampel, instrumen, metode,dan teknik penelitian
j. Jadwal kegiatan

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Jika proposal dinilai memenuhi syarat (biasanya melalui seminar) oleh dewan bimbingan skripsi yang ditunjuk oleh pimpinan program studi, mahasiswa diizinkan melakukan proses penelitian dengan dibimbing oleh dua orang pembimbing. Proses bimbingan yang disarankan adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa meminta persetujuan pembimbing I atas proposal skripsi yang disusunnya. Pembimbing I memberikan arahan tentang rumusan akhir proposal, sistematika, dan materi skripsi.
b. Pembimbing I dan pembimbing II bersepakat mengenai tugas pembimbingan masing-masing
c. Mahasiswa mengembangkan proposal menjadi bab I, bab II, dan bab III besrta instrumen penelitian atas arahan Pembimbing I dan pembimbing II
d. Setelah instrumen disetujui pembimbing I dan II. mahasiswa melakukan pengumpulan data sesuai arahan tim pembimbing
e. Data yang diperoleh kemudian diolah (didata, diverivikasi, dan diklasifikasi).
f. Data yang telah diverivikasi kemudian dianalisis mengunakan teknik analisis atau pedoman analisis yang telah disetujui tim pembimbing. Hasilnya kemudian ditafsirkan dan disimpulkan.
g. Mahasiswa menyusun skripsi secara utuh sesuai hasil bimbingan.

3. Tahap Pelaporan
Setelah proses penelitian selesai dilakukan, dan peneliti menyusun laporan berbentuk skripsi dalam bentuk final draft (konsep akhir). Draf final ini dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap tiga yaitu untuk keperluan ujian sidang, dua untuk penguji, satu untuk mahasiswa sendiri. Draf final bisa diajukan sebagai syarat mengikuti ujian sidang jika telah disetujui oleh tim pembimbing, pimpinan program, dan pimpinan fakultas.
Skripsi berbentuk draf final tersebut terdiri atas 3 bagian: kelengkapan awal, isi skripsi, dan kelengkapan akhir.

a. Kelengkapan Awal
Kelengkapan awal skripsi terdiri atas halaman-halaman berikut:
1) Halaman kulit, yang terdiri atas judul skripsi, keterangan tentang kedudukan skripsi dalam sistem pendidikan di program studi, logo fakultas, nama dan NIM penulis, program studi, fakultas, universitas, kota serta tahun penulisan.
2) Halaman kosong.
3) Halaman judul, isinya sama dengan halaman kulit.
4) Halaman pengesahan, berisi judul skripsi, nama dan tanda tangan persetujuan pembimbing I dan II, diketahui Ketua Program Studi dan disahkan oleh Dekan.
5) Halaman Motto atau persembahan, berisi motto yang dijadikan pegangan penulis, atau pernyataan kepada siapa karya ilmiah itu dipersembahkan.
6) Halaman pernyataan penulis bahaw skripsi yang diajukan betul-betul hasil karya sendiri.
7) Abstrak skripsi, suatu uraian singkat tentang masalah yang dibahas, analisis yang diketengahkan, serta kesimpulan. Abstrak berisi ± 250 kata, ditulis dalam tidak lebih dari satu halaman. Abstrak (penelitian empiris) sekurang-kurangnya berisi:
· latar belakang penelitian, kalau mungkin dalam satu kalimat;
· masalah dan tujuan penelitian, kalau mungkin dalam satu kalimat;
· subyek/obyek penelitian, disertai karakteristik khususnya, seperti misalnya, jumlah, tipe, usia, dan jenis kelamin;
· metode yang digunakan, termasuk instrumen, prosedur pengumpulan data, perlakuan atau treatment (kalau ada);
· hasil penelitian, termasuk taraf signifikansi statistik; dan
· kesimpulan dan implikasi, atau rekomendasi.
8) Halaman kata pengantar diisi dengan ucapan syukur kepada tuhan bahwa skripsi tersebut selesai dikerjakan; informasi singkat tentang judul skripsi dan isinya, permintaan sumbang saran kepada pembaca, dan harapan pemanfaatan skripsi tersebut.
9) Halaman ucapan terima kasih kepada orang-orang atau badan-badan yang telah memberikan bantuan dalam melaksanakan penulisan skripsi dan dalam menda-patkan sumber-sumber yang diperlukan..
10) Halaman daftar isi, berisi: kata pengantar, daftar isi, daftar tabel atau gambar, abstrak, isi skripsi (bab 1 sampai bab 5), daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup.
11) Halaman daftar tabel, gambar, grafik, dan singkatan yang masing-masing dapat dibuat tersendiri.

b. Isi skripsi
Isi skripsi terdiri atas lima bagian utama (Bab) sebagai berikut:

1) Bab I Pendahuluan.
Bagian ini disusun dengan tujuan memberikan gambaran tentang masalah yang diteliti. Bagian ini terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, anggapan dasar, hipotesis, dan definisi oprasional. Berikut uraian seingkat setiap bagian tersbut:
a) Latar Belakang Masalah. Bagian ini berisi penjelasan dan gambaran tentang alasan pemilihan judul/permasalahan, baik alasan yang bersumber pada problematikan teoretis maupun problematika empiris.
b) Identifikasi masalah. Bagian ini berisi paparan tentang letak permasalahan dalam peta masalah dan kerangka keilmuan yang relevan.
c) Pembatasan dan Perumusan masalah. Bagian ini berisi pembahasan masalah dengan memfokuskan pada masalah-masalah tertentu dari sekian banyak masalah yang teidentifikasi. Penentuan masalah yang diteliti dipertimbangkan dengan memperhatikan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki peneliti. Setelah itu disusun rumusan rmasalah yang biasanya dinyatakan dalam bentuk kalimat tanya.
d) Tujuan penelitian. Bagian ini berisi tujuan yang hendak dicapai. Isinya terkait dengan rumusan masalah.
e) Manfaat/kegunaan penelitian. Bagian ini berisi uraian tentang sumbangan nyata hasil penelitian terhadap diri peneliti dan pihak-pihak yang tekait, seperti sekolah, siswa, lembaga pendidikan, termasuk pemecahan permasalahan dunia pendidikan.
f) Anggapan dasar. Berisi asumsi yang diyakini peneliti. Asumsi ini bisa merupakan intisari teori atau hasil penelitian yang tidak diragukan kebenarannya. Asumsi ini biasanya digunakan sebagai dasar perumusan hipotesis pada penelitian jenis ekspreimen.
g) Hipotesis. Hipotesis adalah rumusan jawaban sementara atas pertanyaan/rumusan penelitian eksperimen (menggunakan motode analisis statistik).
h) Definisi oprasional. Defini oprasional adalah batasan atau penjelasan makna istilah-istilah penting yang digunakan dalam penelitian. Definisi perlu dibuat jika penelitian menggunakan istilah atau konsep yang potensial bisa menimbulkan miskomunikasi (salah arti).

2) Bab II Tinjauan Pustaka.

Bagian ini berisi kajian teoritis dan komprehensif tentang variabel-variabel yang menjadi subjek penelitian. Kajian teortis harus didasarkan pada beberapa sumber (minimal tiga sumber). Isinya tidak hanya kompilasi (gabungan) teori, tetapi merupakan kajian induktif. Selain berisi kutipan teori, kajian mesti dilengkapi dengan analisis dan komentar terhadap teori tersebut sehingga diperoleh rumusan teori yang logis. Bagian ini juga memuat hasil-hasil penelitian lain yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat letak penelitian dalam stuktur ilmu, juga untuk menegaskan bahwa penelitian yang dilakukan adalah salah satu penelitian yang terkait dengan perkembangan kini pada bidang ilmu pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (up to date) dan tidak tumpang tindih (overlap) dengan penelitian lain.

3) Bab III Metodologi Penelitian.

Bab ini berisi penjelasan tentang metode, sumber data, teknik penelitian (teknik pengumpulan dan pengolahan data), instrumen penelitian, pedoman analisis (jika kualitatif). Berikut penjelasan setiap bagian tersebut

a) Metode dan pendekatan penelitian, berisi uraian tentang metode serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian, serta alasan pemilihannya. Jika dirasa perlu, pada bagain ini bisa juga digambarkan disain penelitiannya (berbentuk alur abagan) sehingga tergambar dengan jelas bagaimana penggunaan metode penelitian yang dipilih pada proses penelitian secara keseluruhan.
b) Sumber data. Bagian ini berisi penjelasan sumber,bentuk data penelitian,dan penjelasan tentang karakteristik populasi data yang diteliti. Jika penelitian tidak bisa dilakukan pada seluruh populasi, maka harus dijelaskan teknik sampling dan karakteristik sampelnya.
c) Teknik penelitian. Teknik penelitian mencakup dua jenis, teknik pengumpulan data dan teknik pengolahan data. Teknik pengumpulan data berisi penejelasan cara yang digunakan dalam megumpulkan data, misalnya teknik studi pustaka, telaah dokumentasi, observasi, wawancara, angket, atau tes. Teknik pengolahan data berisi penjelasan bagaimana data diolah apakah menggunakan teknik analisis kualitatif (harus disertai pedoman analisis), atau teknik analisis kuantitatif (menggunakan perhitungan statistik).
d) Instrumen Penelitian, berisi uraian tentang alat yang digunakan dalam pengumpulan data, beserta penjelasan tentang uji coba instrumen (uji validitas & reliabilitas).

4) Bab IV Deskripsi, Analisis, dan Pembahasan Hasil Penelitian

Bab ini berisi tiga bagian yang tidak terpisahkan yaitu deskripsi, analisis, dan pembahasan hasil penelitian. Deskripsi data berisi penggambaran data-data yang ditemukan selama proses penelitian. Teknik pendeskripsian disesuaikan dengan jenis data yang diperoleh. Data tersebut kemudian dianalisis pada bagian analisis data. Analisis bisa dilakukan dengan teknik analisis kualitatif maupun kuantitatif, bergantung pada rumusan masalah dan karakteristik data. Hasil analisis yang berupa kesimpulan analisis dibahas dengan cara dikaitkan dengan rumusan masalah dan teori. Pembahasan tersebut dikemukakan dalam subbab pembahasan hasil penelitian.

5) Bab V Simpulan dan Saran

Bab ini merupakan penutup skripsi. Subbab kesimpulan merupakan jawaban terhadap perumusan masalah atau pertanyaan penelitian yang diajukan pada Bab I. Subbab saran berisi ajuan yang merupakan konsekuensi logis dari hasil pe nelitian yang bersangkutan. Saran bukan sembarang masukan yang kadang- kadang tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan penelitian yang dilakukan.

C. Kelengkapan akhir Skripsi

Kelengkapan akhir Skripsi terdiri atas hal-hal berikut :
1. Daftar pustaka, suatu daftar bahan bacaan yang dijadikan sumber dan dasar penulisan skripsi; bisa berupa buku, artikel dalam majalah, surat kabar, atau situs internet.
2. Riwayat hidup penulis. Pada bagian ini secara naratif dikemukakan dengan singkat; nama lengkap penulis, tempat dan tanggal lahir, riwayat pekerjaan dan daftar karya ilmiah.
3. Lampiran-lampiran, dapat berupa gambar, bagan, peta, foto, contoh pengolahan statistik, contoh daftar pertanyaan, angket, wawancara, dan sebagainya yang diberi nomor urut angka romawi.

Cara Menemukan dan Merumuskan Masalah Penelitian

Cara Menemukan dan Merumuskan Masalah Penelitian

1. Sumber dan Cara Menemukan Masalah Penelitian

Bagaimana cara menemukan dan merumuskan masalah penelitian bagi orang yang belum berpengalaman bukanlah sesuatu yang mudah. Oleh karena itu perlu kiat-kiat tertentu dalam mencari, menemukan, dan merumuskan masalah. Menurut Suharsimi Arikunto (1996:25), sumber masalah dapat diperoleh dari berbagai macam arah: dari kehidupan sehari-hari, dari membaca buku, dapat diberi dari orang lain. Akan tetapi menurutnya yang paling baik adalah datang dari dirinya sendiri sehingga ada dorongan kebutuhan untuk memperoleh jawaban. Dengan demikian, penelitian akan berjalan dengan sebaik-baiknya.
Dalam kerangka pikir dalam dunia manajemen, Sugiyono (1994:35) menambahkan bahwa sumber masalah bisa diambil dari 1) adanya penyimpangan antara pengalaman dengan kenyataan; 2) penyimpangan antara apa yang telah direncanakan dengan kenyataan; 3) dari pengaduan; dan 4) dari kondisi yang muncul karena adanya kompetisi.

Masalah penelitian bisa juga diambil dari sumber lain yaitu: 1) bacaan terutama bacaan yang berisi laporan penelitian; 2) seminar, diskusi, dan lain-lain pertemuan ilmiah; 3) pernyataan pemegang otoritas; 4) pengamatan sepintas; 5) pengalaman pribadi; dan kadang kala 6) perasaan intuitif (Suryabrata,(1983:61)
Mengapa demikian ? Alasanya adalah karena bacaan terutama bacaan yang berisi laporan penelitian biasanya mencantumkan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. Seminar, diskusi, dan pertemuan ilmiah mudah dapat dijadikan sumber masalah penelitian karena umumnya pertemuan-pertemuan tersebut membantu peserta bisa melihat, menganalisis, dan menyimpulkan permasalahan secara profesional. Dengan demikian, mudah muncul persoalan-persoalan yang memerlukan penelitian-penelitian. Demikian pula peryataan pemegang otoritas baik pemerintahan maupun bidang ilmu tertentu banyak memunculkan permasalahan yang memerlukan penelitian.

Pengamatan sepintas dapat menjadi sumber masalah penelitian. Masalah itu kadang-kadang muncul setelah seseorang melihat hal-hal tertentu di lapangan yamg menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya menjadi suatu masalah penelitian walaupun sebelumnya dia tidak sengaja mencari masalah penelitian.
Pengalaman pribadi dapat dijadikan sumber masalah penelitian terutama penelitian yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial. Pengalaman ini dapat berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun kehidupan profesional. Selain itu perasaan intuitif pun bisa dijadikan masalah. Intuisi dapat muncul setelah seseorang bangun tidur atau istirahat. Hal ini akibat terjadinya pengendapan informasi yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti itu kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan atau masalah.

Dalam bidang pendidikan, penelitian bisa diambil dari komponen-komponen yang tercakup dalam pendidikan. Permasalah bisa diambil dari sisi siswa (misalnya latar belakang kognitif, sosial ekonomi, latarbelakang budaya dan afektif ); dari proses atau kegiatan belajar mengajar (pendekatan, metode, teknik); dari sisi guru (latar belakang pendidikan, sosial ekonomi, minat, kinerja dll.); dari sisi lingkungan (masyarakat, lingkungan alam, pemerintah, kondisi, suasana); dari sisi kurikulum (sistem penyajian, administrasi, dan evaluasi); dari sisi hasil (baik kognitif, afektif, maupun psikomotor); maupun hubungan antar komponen-komponen tersebut.

Meskipun masalah penelitian bisa diambil dari begitu banyak sumber, masalah tidak akan dapat diperoleh tanpa kepekaan peneliti dalam mengidentifikasi masalah. Suatu kondisi bisa saja bukan masalah bagi orang awam yang tidak terlalu peduli dengan kondisi itu, tetapi bagi peneliti yang punya kepekaan yang tinggi, kondisi itu bisa menjadi masalah yang bernilai strategis untuk diteliti. Dengan demikian, untuk memperoleh masalah yang berkualitas dalam penelitian, perlu dilatih kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap sumber-sumber masalah penelitian di atas. Kepekaan itu bisa di dapat jika ada upaya pendalaman dan pengkhususan (immersion dan guided entry) terhadap bidang masalah yang diteliti (Rakhmat,1984:23)

2. Kriteria dan Cara Merumuskan Masalah Penelitian

a. Kriteria Masalah Penelitian
Penelitian yang baik adalah penelitian yang memenuhi lima ciri utama yaitu menarik minat peneliti, bisa dikerjakan (feasibel), jelas (clear), berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia (significant), dan tidak menimbulkan kerusakan bagi alam, lingkungan,dan manusia (ethical) (Fraenkel,1993:24; Suharsimi,1996:26; Suryabrata, 1983:63-64; Koentjaraningrat, 1990:15; dan Nawawi,1993: 42 – 43).

Masalah penelitian harus menarik karena akan berdampak pada motivasi si peneliti. Masalah yang menarik akan merangsang peneliti lelakukan penelitian sebaik mungkin, segala daya upaya akan ia lakukan untuk memecahkan masalah tersebut.
Masalah penelitian mesti feasible karena berkaitan dengan mungkin tidaknya penelitian itu dilakukan. Aspek efesiensi merupakan salah satu dasar kriteria ini. Suharsimi Arikunto memberikan pertimbangan mungkin tidaknya sebuah masalah diteliti dari sisi si peneliti dan dari sisi faktor pendukung sebagai berikut :

Ditinjau dari diri peneliti :
1) peneliti mesti mempunyai kemampuan untuk meneliti masalah itu, artinya menguasai materi yang melatarbelakangi masalah dan menguasai metode untu memecahkannya.
2) Peneliti mempunyai waktu yang cukup sehingga tidak melakukannya asal selesai.
3) Peneliti mempunyai tenaga untuk melaksanakannya.
4) Peneliti mempunyai dana yang mencukupi.
Dari sisi tersedianya faktor pendukung:
1) tersedia dana sehingga pertanyaan penelitian dapat dijawab.
2) Ada izin dari yang berwenang.

Sebuah masalah penelitian juga mesti jelas (clear) karena masalah penelitian tidak hanya harus dipahami oleh si peneliti saja, tetapi juga oleh masyarakat banyak. Nawawi menambahkan agar sebelum melaksanakan penelitian, seorang peneliti melakukan studi literatur. Apabila dari studi literatur ternyata masalah yang akan diteliti sudah dilakukan orang lain dengan gamblang, maka sebaiknya dipertimbangkan lagi agar penelitiannya tidak sia-sia. Hal lain yang harus dilakukan adalah berusaha mendiskusikan masalah yang akan ditelitinya dengan teman sejawat atau berkonsultasi/meminta pendapat seseorang atau beberapa orang yang dianggap ahli di dalam bidang yang akan ditelitinya. Hal ini untuk menghindari pengulangan penelitian yang telah dilakukan peneliti lain. (1993: 42 – 43). Dari sisi kejelasan masalah, pendefinisian inti masalah perlu dilakukan dari berbagai sisi, antara lain memperhatikan definisi dari kamus, kesepakatan umum, jika perlu disertai dengan contoh yang konkret. Penjelasan inti masalah dalam suatu penelitian yang baik umumnya diungkapkan dengan definisi oprasional.

Kriteria lain yang tidak kalah pentingnya adalah significant. Kriteria ini mengacu pada keharusan bahwa sebuah penelitian mesti berkontribusi terhadap pengetahuan penting bagi manusia. Penelitian idealnya menjawab pertanyaan yang memajukan pengetahuan dalam bidang yang diteliti, juga secara praktis penelitian itu meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Kriteria selainnjutnya adalah etis (Ethical). Masalah penelitian mesti etis, pantas, layak dan beradab untuk diteliti. Intinya, penelitian itu tidak menyebabkan kerusakan bagi manusia, alam, dan sosial.



b. Cara Merumuskan Masalah

Rumusan masalah yang baik adalah rumusan masalah yang memenuhi kriteria-kriteria di atas, yaitu menarik, bisa dilaksanakan, jelas, bermanfaat, dan etis. Untuk keperluan praktis pelaksanaan penelitian, ada dua pola perumusan praktis masalah penelitian. Pola pertama merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian dan pola yang lain masalah dirumuskan dalam bentuk kalimat pernyataan (Sugiyono, 1994:36).

Berikut ini contoh masalah penelitian yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
1) Bagaimanakah sikap masyarakat Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang terhadap KB mandiri ?
2) Adakah perbedaan produktivitas kerja antara pegawai negri dan pegawai swasta ?
3) Adakah hubungan antara banyaknya semut di pohon dengan manisnya buah?
4) Seberapa besar pengaruh tata ruang kantor terhadap semangat kerja pegawai ?
Jika dirumuskan dengan bentuk kalimat pernyataan, rumusan masalah di atas akan menjadi kalimat berikut :
1) Sikap masyarakat Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang terhadap KB mandiri.
2) Perbedaan produktifitas kerja antara pegawai negri dengan pegawai swasta.
3) Hubungan antara banyaknya semut dengan manisnya buah.
4) Pengaruh tata ruang kantor terhadap semangat kerja pegawai.

Berdasarkan pembahasan terhadap beberapa literatur kita bisa memperoleh beberapa simpulan sebagai berikut:
1) Masalah adalah keadaan yang berupa kesenjangan (gap) antara kenyataan dan harapan. Kesenjangan itu bisa bersifat konsptual-teoretis maupun bersifat praktis.
2) Karena masalah dalam kenyataannya berada dalam suatu konteks yang utuh, maka bentuk masalah bisa satu varibel, beberapa variabel, bahkan bisa merupakan perbandingan atau hubungan antar variabel.
3) Kedudukan masalah dalam suatu penelitian sangat penting. Masalah merupakan pangkal dan acuan utama segala bentuk upaya yang dilakukan dalam penelitian, pada hakikatnya sebuah penelitian dilaksanakan untuk mendapat kebenaran (truth) dengan memecahkan masalah.
4) Sumber masalah penelitian banyak sekali. Masalah bisa dimbil dari dari kehidupan sehari-hari; dari membaca buku; dari saran orang lain; dari adanya penyimpangan antara pengalaman dengan kenyataan; dari penyimpangan antara apa yang telah direncanakan dengan kenyataan; dari pengaduan; dari kondisi yang muncul karena adanya kompetisi; dari berisi laporan penelitian, seminar, diskusi, dan pertemuan ilmiah lain ; dari pernyataan pemegang otoritas; pengamatan sepintas; pengalaman pribadi; atau kadang kala dari perasaan intuitif. Meskipun demikian, masalah penelitian baru bisa diperoleh jika ada kepedulian dan kepekaan peneliti dalam menemukan masalah.
5) Pemilihan masalah dalam penelitian idealnya memenuhi kriteria menarik, bisa diteliti, jelas, bermanfaat, dan etis.
6) Dalam merumuskan masalah, dikenal ada dua cara perumusan. Perumusan pertama menggunakan bentuk pernyataan. Perumusan masalah kedua menggunakan bentuk pertanyaan.

PENGERTIAN, JENIS, DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

PENGERTIAN, JENIS, DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

A. Pendahuluan

Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah meningkatkan derajat hidup manusia. Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, kebutuhan hidup manusia yang dulu sulit dipenuhi kini menjadi relatif mudah. Untuk bisa makan daging, orang zaman dahulu harus berburu dulu ke hutan, sekarang daging itu sudah dikemas sedemikian rupa dan siap disajikan. Asal punya uang, daging siap makan itu sudah tersedia di berbagai tempat yang bernama minimarket atau supermarket. Kemudahan itu pun terjadi dalam hal penyiapan pakaian, minuman, dan perlengkapan hidup lain. Dalam soal interaksi misalnya, untuk bertegur sapa dengan saudara diluar kota, dulu orang harus berjalan atau berkendara untuk melakukannya. Sekarang, dengan sebuah handphone, kita bisa melakukannya tanpa beranjak sedikit pun.

Berkah kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi juga memberikan kemudahan dalam dunia pendidikan. Berkat komputer dan internet, pencarian literatur bisa dilakukan dengan kecepatan dan kuantitas yang nyaris tidak terkira. Bayangkan saja, dahulu untuk memperoleh beberapa artikel tentang suatu teori atau topik, kita harus mengunjungi beberapa perpustakaan. Sekarang, dengan bantuan internet dan komputer, ribuan literatur (jika itu ada) dengan begitu cepat dan mudah sudah tersaji pada monitor di depan kita.
Kunci kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tiada lain adalah adanya penelitian. Proses penelitian inilah yeng menciptakan pembaharuan-pembaharuan dalam hidup kita. Termasuk di dalamnya pembaharuan di bidang pendidikan.
B. Pengertian Penelitian

Kata penelitian terdiri atas kata dasar teliti dan konfiks pe-an. Konfiks pe-an dalam kata tersebut bermakna proses. Kata teliti pada kata penelitian jika kita telaah lebih dalam dengan rasa bahasa, memiliki makna yang lebih dinamis dibanding kata teliti pada kata ketelitian. Sebagai akibat penggunaan konfiks pe-an, kata teliti pada kata penelitian sejajar dengan makna kegiatan meneliti, maknanya terasa lebih ditekankan pada suatu proses kegiatan mencari, menemukan dan menelaah. Berbeda jika kata teliti itu diberi afiks ke-an menjadi kata ketelitian, maknanya akan terasa lebih menekankan pada makna hal dan hasil.

Kegitan penelitian dilakukan tentu karena ada tujuan. Dilihat dari tujuannya, penelitian bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu penelitian murni dan penelitian terapan. Penelitian murni adalah penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan teori atau ilmu. Penelitian ini lebih menekankan pada upaya menemukan hal-hal baru atau pengetahuan baru yang lebih detil, mendalam, atau bisa juga lebih luas. Dalam bidang bahasa, yang tergolong penelitian murni diantaranya adalah kajian terhadap jenis-jenis afiks dalam bahasa Sunda; pola kalimat bahasa Bima; proses morfologis pembentukan kosakata baru bahasa gaul dll.

Penelitian terapan adalah penelitian yang dilakukan untuk menerapkan ilmu atau teori yang ada untuk keperluan praktis, yang bermanfaat secara langsung dalam kehidupan manusia. Penelitian terapan ini bisa dikatakan lanjutan dari penelitian murni. Jika penelitian murni dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan keingintahuan, maka penelitian terapan ditekankan pada pemanfaatan pengetahuan baru tersebut untuk keperluan yang yang lebih praktis dan pragmatis, atau lebih berkaitan langsung dengan kebutuhan hidup manusia. Dorongan utama penelitian ini adalah keinginan manusia untuk memecahkan masalah-masalah kehidupannya dengan pendekatan ilmiah. Dalam hal ini, ilmu atau teori (baik yang baru maupun lama) dimanfaatkan sebagai alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut. Dalam bidang bahasa, contoh penelitian yang berkategori penelitian terapan misalnya: efektivitas penggunaan pola reptisi dalam bahasa dakwah (dilakukan oleh lembaga dakwah untuk meningkatkan efektivitas program lembaga tersebut); pemanfaatan teknik penyingkatan dalam penyusunan iklan baris dan kolom (dilakukan para praktisi iklan untuk meningkatkan efektivitas periklanan); penggunaan mind map (peta pikiran) dalam pembelajaran membaca kritis (dilakukan oleh guru/dosen membaca untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran membaca), dll.

Dengan dasar pijakan cara pemaknaan di atas, penelitian bisa diartikan sebagai suatu proses pencarian, penemuan, penelaahan, yang dilakukan dengan teliti, kritis, dan sistematis untuk memperoleh pengetahuan baru atau untuk pemecahan masalah.

C. Jenis Penelitian

Menurut tujuannya, seperti telah dijelaskan sebelumnya, bisa dibagi dua yaitu penelitian murni dan penelitian terapan. Dilihat dari Kesengajaan melakukan penelitian, penelitian bisa dibedakan menjadi penelitian ilmiah dan alamiah. Dilihat dari pendekatannya, penelitian bisa dikelompokkan menjadi delapan, yaitu penelitian survey, ex post facto, eksperimen, naturalistik, policy reseach, action reseach, evaluasi , dan sejarah. Dilihat dari tingkat eksplanasinya, penelitian bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu deskriptif, komparatif, dan asosiatif. Dilihat dari jenis data yang diteliti, penelitian bisa dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu penelitian kualitatif, kuantitatif, dan kuantilatif (gabungan kuantitatif dengan kualitatif).


1. Penelitian Dilihat dari Kesengajaan Melakukan Penelitian


Dilihat dari aspek kesengajaan melakukan penelitian, kegiatan ini bisa dikelompokkan menjadi dua macam penelitian, yaitu penelitian alamiah dan penelitian ilmiah. Penelitian alamiah adalah penelitian yang dilakukan sebagai akibat dari kodrat manusia yang selalu ingin tahu dan tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki. Penelitian alamiah ini terjadi begitu saja. Bisa dikatakan lebih diakibatkan oleh keinginan bertahan hidup dengan kehidupan yang lebih baik.


Penelitian ilmiah merupakan penelitian lanjutan dari penelitian alamiah. Kegiatan ini dilakukan secara lebih sadar dan terprogram. Dasar tindakan kegiatannya bukan lagi hanya sekedar insting, tetapi pengetahuan dari pengelaman yang telah teruji kebenarannya. Pengetahuan yang telah teruji kebenarannya itu adalah apa yang biasa disebut dengan teori, dalil, ataupun ilmu. Untuk memperoleh teori, dalil, atau ilmu, manusia telah mengalami proses pencarian, penemuan, dan pengujian dengan waktu yang lama dan berulang-ulang. Ujung dari proses pencarian itu adalah terumuskannya apa yang kita sebut ilmu pengetahuan. Penelitian ilmiah adalah penelitian yang telah didasarkan pada teori dan ilmu pengetahuan yang sudah terumuskan itu.
Untuk lebih memberikan gambaran lebih konkret, bagaimana manusia melakukan kegiatan penelitian ilamiah dan ilmiah, berikut ini disajikan dasar pemikiran dan beberapa buktinya.


Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk selalu memikirkan apa yang didapat dan diketahuinya. Hasil kegiatan berpikir itu menghasilkan pemahaman-pemahaman baru tentang kehidupan dan apa yang dialaminya. Ketika Adam dan Hawa berada di syurga, mereka sebenarnya telah mendapat segalanya. Tetapi karena sebagai manusia mereka mempunyai akal, ia selalu memikirkan segala sesuatu yang ada termasuk kemunginan-kemungkinan rasionalnya.


Ada saatnya mereka terlena menggunakan akal itu, yaitu ketika Iblis memberikan pengalaman baru berupa adanya fakta berbentuk pohon khuldi dan buahnya yang ranum. Fakta adanya pohon dan buah itu, ditambah dengan masukan informasi dari sang Iblis bahwa buah itu mammpu meberi faedah kekekalan, menuntun akal mereka untuk berpikir dan melakukan pembuktian dengan memakannya. Sebenarnya, Tuhan telah melarang mendekati pohon itu dan memakan buahnya. Tetapi karena desakan kepenasaran lebih kuat, mereka memakan buah itu, sekaligus melanggar perintah Tuhan dengan sendirinya. Terlepas dari berbagai penafsiran agamis, kisah itu menunjukkan bahwa Adam dan Hawa sebagai sosok manusia memang sudah secara kodrati memiliki dorongan untuk melakukan apa yang disebut penelitian.


Memang selalu ada pilihan pada akhir memuaskan keingintahuan, yaitu iming-iming keuntungan (penemuan baru yang lebih baik), atau ancaman kerugian (resiko kegagalan yang ditemukan). Dalam kisah Adam-Hawa, Iblis, dan buah Khuldi, penelitian manusia berakhir bencana (diusir dari Syurga), tetapi dari proses penelitian, manusia menemukan sebuah kesimpulan yang sangat berharga : Jangan membangkang kepada Tuhan dan jangan percaya terhadap masukan Iblis.


Sebagai salah satu bukti proses penelitian almiah, kita bisa melihatnya pada bagaimana manusia belajar sejak bayi. Perhatikan salah satu contoh berikut.
Ada seorang bayi dalam sebuah ruangan bermain dengan kedua orang tuanya. Si bayi tertarik dengan sebuah obyek (bola) namun tidak dapat meraihnya. Ia tentu belum mampu berkata “Ma, tolong ambilkan bola”. Si bayi hanya mampu memandang bola dan mengeluarkan suara “baa’ atau sejenisnya. Ketika tidak ada respon baik dari sang ayah maupun ibunya, dia bersuara “baa” lagi, lagi, dan lagi bahkan lebih keras. Teriakan itu adalah ekspresi hasrat yang tidak terpuaskan, tetapi pada sisi lain merupakan alat menarik perhatian orang lain agar memahami keinginannya.
Si ayah dan ibu akhirnya memperhatikannya. Spekulasi pemikiran tentu akan terjadi dalam benak ayah dan ibunya.
“Anak kita lapar mungkin , Bu!” kata si ayah.
“Saya kira tidak,” jawab si Ibu, “Dia baru saja makan”. “Mungkin popoknya perlu diganti,” kata si ibu.
“Bukankah kamu baru menggantinya setelah makan?” tanya si ayah.
“Iya,ya” jawab si Ibu.
Setelah beberapa dugaan atau hipotesis dicoba, akhirnya orang tua tersebut sampai pada kemungkinan bahwa anaknya menginginkan sesuatu. Bunyi “baa” mengarah pada sesuatu dalam ruangan. Di ruangan itu ada bola yang terus dilihat si bayi. Si ibu mengembangkan hipotesis baru. Mungkin si anak menginginkan bola. Dia mengambilnya memberikannya kepada anaknya dan dengan intonasi naik bertanya “bola?”. Si anak meraih bola itu dengan wajah ceria dan disertai tawa lucu.


Secara alamiah, proses tadi memberi pengetahuan baru bagi si bayi bagaimana menarik perhatian orang tua dan memenuhi hasratnya. Bagi si ayah dan ibu, peristiwa tersebut memberinya pengetahuan baru bagaimana memahami simbol-simbol komunikasi dari anaknya.
Baik si bayi maupun kedua orang tuanya sama-sama melakukan proses penelitian. Meskipun belum dalam tahap pemaknaan ‘sadar’, prilaku sang bayi sudah merupakan ekspresi dari potensi manusia untuk berusaha memecahkan masalah. Dalam dirinya sudah ada kesadaran akan adanya ‘masalah’ dan ada upaya untuk memecahkannya dengan berkata ‘baa’ beberapa kali. Dengan tingkatan yang lebih tinggi, proses penelitian juga dilakukan sang orang tua. Ucapan ‘baa’ sang anak adalah sebuah fenomena. Beberapa dugaan mereka sebagai hasil dari kegiatan berpikir adalah hipotesis. Hipotesis itu kemudian diuji dengan fakta empiris berupa apa yang telah mereka lakukan. Dengan menggunakan logika, akhirnya mereka bisa menghubungkan antara dugaan dan fakta sehingga sampai pada kesimpulan bahwa sang anak menginginkan bola.


Ada contoh lain. Seorang anak beretnis Jawa sedang belajar bahasa Sunda sebagai bahasa keduanya. Suatu hari ia menyaksikan dua orang sebayanya (beretnis Sunda) bermain bulutangkis. Pada suatu saat, shutle cock yang mereka gunakan jatuh agak jauh dari mereka berdua. Mereka kemudian berselisih saling menyuruh.
“Cokot atuh, Ris (Ambil dong, Ris!)” kata anak yang satu.
“Cokot ku maneh ah (ambil oleh mu saja!)” kata anak yang lain.
Bagi anak beretnis Jawa yang menyaksikan, dialog tersebut membingungkan. Dalam bahasa Jawa, cokot berarti ‘gigit’. Baginya tidak masuk akal shutle cock harus digigit. Kebingungan itu akhirnya berkurang ketika ia melihat salah seorang anak itu mengambil shutle cock sambil berkata,
“Oke lah, cokot ku sayah (Baiklah saya ambil)”
Anak beretnis Jawa itu, memperoleh pelajaran arti kata cokot dalam bahasa Sunda. Ia menjadi semakin yakin tentang arti kata cokot tadi setelah bertanya kepada pamannya yang kebetulan bisa berbahasa Jawa dan Sunda.
Contoh di atas dan contoh sebelumnya menunjukkan bahwa penelitian secara alamiah telah biasa dilakukan manusia. Karena adanya akal sebagai potensi ‘built in’ yang diberikan Tuhan, manusia mampu merespon segala macam yang terjadi diluar dirinya menjadi sebuah bahan untuk memperoleh pengetahuan baru. Proses memperoleh pengetahuan baru yang terjadi begitu saja (tidak direncanakan oleh manusia) merupakan proses alamiah, sebuah proses yang mengikuti hukum alam. Hukum alamnya adalah, ada sesuatu yang terjadi di luar diri manusia dan manusia akan menjadikannya sebagai bahan berpikir.


Dari jutaan (atau tidak terhitung) pengalaman manusia dalam melakukan pencarian ilmu pengetahuan baru, salah satunya telah sampai pada satu kesimpulan bahwa perlu dirumuskan cara bagaimana melakukan penelitian yang efektif dan efesien. Efektif artinya hasil yang didapat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Efesien berarti bahwa prosesnya menguntungkan dari berbagai aspek, seperti cepat (hemat waktu), murah (hemat biaya), mudah (hemat cara) dan ringan (hemat tenaga).


Meskipun sekarang telah banyak sekali rumusan teori dan ilmu penelitian, bukan berarti proses perumusan penelitian yang efektif dan efesien itu telah tercapai secara final. Secara filsafi, tidak ada proses pencarian kebenaran yang final selagi manusia (sebagai subjek dalam penelitian) masih hidup, dan alam dunia (sebagai objek yang diteliti) belum kiamat.


Kalau kita mencoba membaca rumusan para pakar penelitian, kita bisa memperoleh ilmu pengetahuan tentang penelitian. Beberapa literatur atau kepustakaan yang bisa kita temukan untuk mempelajari ilmu penelitian diantaranya adalah : Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek) karya, Suharsimi Arikunto; Metode dan Masalah Penelitian Sosial karya A. James Black dan Dean J. Champion; How to Design and Evaluate Research in Education karya Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wallen; Metodologi Penelitian karya Furqon, Metodologi Penelitian Masyarakat karya Kuntjoroningrat; Metode Penelitian Sosial karya Manase Mala; Metode Research karya Nasution; Metode Penelitian Komunikasi karya Jalaludin Rakhmat; Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta karya H.E.T Ruseffendi; Metode Penelitian Administrasi karya Sugyono; Metodologi Penelitian karya Sumadi Suryabrata, dan Second Language Research Methods karya Herbert W. Selinger dan Elena Shohamy. Masih banyak lagi buku-buku penelitian lain yang bisa kita baca, apalagi kalau mau sebentar saja mengunjungi perpustakaan, toko buku, atau web site di Internet.


Penelitian selalu diawali dan didasarkan pada suatu masalah, baik masalah yang bersifat konseptual-teoretis maupun masalah yang berkaitan dengan kegiatan di lapangan. Penelitian yang didasarkan pada metode ilmiah (penelitian ilmiah) dimaksudkan untuk menemukan kebenaran (truth) dalam kerangka pemecahan.
Ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam memahami penelitian, yaitu:
a. Penelitian dilakukan dalam kerangka pemecahan masalah;
b. Penelitian dilakukan untuk menemukan kebenaran (truth) yang relevan dan bermanfaat bagi pemecahan masalah yang dilakukan; dan kebenaran tersebut dikaji dan ditemukan melalui metode ilmiah.
c. Penelitian dapat menggunakan berbagai prosedur yang berbeda, seperti observasi, pengajuan pertanyaan, eksperimen, dan pemerolehan. Misalnya penelitian dengan pemerolehan.
Seorang pembelajar bahasa kedua (Bahasa Inggris), dapat belajar dengan mendengarkan pengguna bahasa asli (native speaker) dan berusaha untuk menghimpun, meniru, dan mengikuti cara penutur asli berbicara. Penelitian dilakukan dengan menempuh langkah-langkah dengan aturan tertentu yang secara logika dapat diharapkan menemukan kebenaran ilmiah.
Beberapa ciri metode ilmiah yang membedakannya dari pandangan umum (common sense), yaitu:
a. Menggunakan struktur teoretis dan skema konseptual yang dibangun secara sistematik, sehingga konsisten/koheren dan berkorespondensi dengan realitas;
b. Menguji, secara empirik dan sistematik, teori dan hipotesis yang digunakan;
c. Melakukan kontrol yang sistematik untuk menyisihkan hipotesis rival atau peubah yang mungkin menjadi penyebab bagi peubah terikat yang tengah dikaji;
d. Mencari hubungan antara peubah secara konsisten dan sistematik; dan
e. Menyisihkan proporsi yang bersifat metafisik.

2. Penelitian Berdasarkan Pendekatannya

a. Penelitian Survey

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh generalisasi (penyimpulan secara umum) dari pengamatan yang dilakukan secara luas (sehingga kurang mendalam). Hasil penelitian ini adalah gambaran umum dari sebuah fenomena. Gambaran umum itu menjadi semacam data awal sekaligus pemetaannya. Gambaran umum ini kemudian dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.


Sebagai contoh, sebuah LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dibidang pendidikan sedang menyusun program untuk meningkatkan minat baca di sebuah kota/kabupaten. Program yang mereka susun tidak akan efektif jika mereka tidak mengetahui beberapa data umum tentang masyarakat kota/kabupaten tersebut. Data yang dimaksud adalah luas wilayah, jumlah penduduk, komposisi masyarakat (dilihat dari minat bacanya), jumlah lokasi penting, ada tidaknya sarana-prasarana dan penyebarannya, serta daya dukung masyarakat yang bisa dimanfaatkan untuk program tersebut. Jika di kota/kabupaten tersebut, data-data tersebut belum tersedia, maka LSM tersebut harus melakukan penelitian survey dulu. Hasil penelitian survey itu kemudian dijadikan dasar penyusunan program.


b. Penelitian Mengungkap Fakta (Ex Post Facto)
Penelitian ini dilakukan terhadap keadaan atau peristiwa yang telah terjadi. Penelitian ditekankan pada bagaimana keadaan itu tercipta, mengapa sampai terjadi, dan faktor-faktor apa yang menyebabkan peritiwa atau keadaan itu tercipta. Penelitian ini menggunakan logika dasar sebab-akibat, yaitu jika X maka Y, atau Y ada karena X.


Contoh: Sebagai guru bahasa, Yamina, S.Pd. kaget melihat perubahan drastis yang ditunjukkan para siswa kelas XI-B. Mereka tiba-tiba antusias belajar mengarang. Dirinya sebagai guru merasa tidak melakukan treatment khusus. Mereka hampir setiap saat berkonsultasi kepadanya tentang teknik menulis. Bahkan, para siswa tersebut telah membuat beberapa kelompok dengan tugas yang berbeda-beda, ada yang mencari data ke perpustakaan, ada yang mewawancara beberapa nasumber. Yang lebih mengagumkan, meraka mau berkorban patungan mengumpulkan dana untuk menyewa kamera dan mencetak berapa puluh foto.
Yasmina kemudian melakukan penelitian ex post facto. Kondisi kelas XI-B itu ia lihat sebagai sebuah akibat yang belum diketahui sebab-sebabnya. Ia kemudian mencari sebab-sebabnya dengan membuat peta situasi kelas XI-B tersebut. Ia kemudian menyelidiki siapa saja siswa yang menjadi penggerak kelas itu, siapa saja pihak lain yang berinteraksi dengan kelas tersebut. Selanjutnya ia cari motivasi mereka keranjingan belajar mengarang. Setiap siswa ditanyai, terutama para penggeraknya. Dari hasil pengamatan dan wawancara, Yasmina memperoleh kejelasan bahwa siswa kelas XI-B begitu antusias belajar mengarang karena tiga hal. Pertama, kelas XI-B ingin memberikan kejutan dan membuat bangga wali kelasnya dengan membuat berita kegiatan sekolah terutama kelas mereka pada sebuah surat kabar lokal. Kedua, redaktur surat kabar lokal tersebut menjanjikan akan memuat karya mereka dan memberi imbalan (honor) jika berita dan tulisan mereka berbobot. Ketiga, redaktur surat kabar tersebut turut mengarahkan apa saja yang layak diberitakan dan bagaimana cara menyajikannya.

c. Penelitian Eksperimen

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada-tidaknya dan besar-kecilnya pengaruh sebuah variabel (yang sengaja dirancang) terhadap variabel lain. Berbeda dengan ex post facto, yang meneliti setelah terjadi, penelitian eksperimen dirancang dengan tujuan agar sebuah kejadian atau kondisi bisa terjadi. Untuk menciptakan kejadian atau kondisi tersebut, peneliti merancang sebuah perlakuan (treatment) terhadap sebuah objek atau kondisi sehingga objek atau kondisi tersbut berubah sesuai dengan yang diinginkan. Penelitian eksperimen yang sebenarnya (true exsperiment) hanya bisa dilakukan di laboratorium dengan kondisi yang terkontrol secara ketat. Untuk penelitian pengajaran bahasa atau sastra, eksperimen yang munkin bisa dilakukan hanyalah quasi experiment, atau eksperimen semu. Semu dalam hal ini bukan berarti bohong atau salah, tetapi lebih ditekankan pada kesadaran bahwa dalam penelitian tersebut ada faktor-faktor yang sulit dihilangkan selain yang dirancang dan dipertimbangkan.
Contoh: Setelah melakukan penelitian ex post facto di kelas XI-B, Yasmina kemudian ingin menerapkan apa yang terjadi di kelas XI-B agar terjadi di kelas XI-A. Pertama-tama ia mendata keadaan dan karakteristik kelas XI-A. Kemudian, ia merancang strategi (perlakuan) yang akan diterapkan di kels XI-A berdasarkan apa yang terjadi di kelas XI-B. Setelah semua siap, ia terapkan stretgi yang telah dirancangnya di kelas XI-A. Setalah diterapkan selama tiga bulan, Yasmina mendata kembali (mengevaluasi) keadaan dan karakteristik kelas XI-A. Meskipun tidak sehebat XI-B, ternyata kelas XI-A pun bisa menulis, dan karyanya dimuat di surat kabar lokal.


d. Penelitian Naturalistik
Penelitian ini sering disebut dengan penelitian kualitatif. Penelitian ini diarahkan untuk meneliti kondisi objek yang alami. Peneliti menjadi instrumen kunci karena analisis terhadap data temuan sangat ditentukan oleh ketajaman pemikiran si peneliti. Teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan). Data yang dihasilkan bersifat deskriptif dan analisis data dilakukan secara induktif. Hasil penelitian yang didapat lebih menekankan pada makna daripada generalisasi.
Contoh: Ada sebuah komunitas masyarakat di Sumedang yang sering berkomunikasi dengan peribahasa dan seloka. Frekuensi pemakaiannya begitu tinggi, hampir setiap wacana komunikasi mereka bumbui dengan kelimat-kalimat perumpamaan. Kondisi ini menarik perhatian seorang dosen bahasa di kota itu. Ia kemudian melakukan penelitian sosiolinguistik terhadap tradisi komunikasi tersebut. Ia melakukan survei untuk menghitung frekuensi dan prosentase pengunaan peribahasa dalam setiap komunikasi. Ia juga melakukan wawancara dan studi literatur untuk mengetahui latar belakang masyarakat tersebut. Ia berharap mendapat penjelasan logis dan ilmiahnya.


e. Penelitian kebijakan (Policy Reseach)
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan semacam masukan agar kebijakan yang diambil tidak salah. Lembaga pemerintah atau pengambil keputusan sangat membutuhkan penelitian ini agar kebijakannya yang menyangkut hayat hidup orang banyak tidak salah arah atau merugikan masyarakat. Proses penelitian dilakukan pada analisis terhadap situasi dan masalah-masalah sosial yang mendasar. Hasilnya berupa data dan masukan (rekomendasi) untuk mendorong atau menolak sebuah kebijakan yang akan diputuskan. Dengan demikian, penelitian ini sangat relevan bagi lembaga atau institusi yang bergerak dibidang perencanaan dan pembangunan.
Contoh: Karena kekurangan dana, dinas pendidikan sebuah kota bermaksud akan membebankan sebagian biaya pengadaan buku ajar kepada siswa (masyarakat). Sebelum mengeluarkan kebijakan, Dinas Pendidikan kota tersebut melakukan penelitian terhadap kemampuan ekonomi orang tua siswa, sikap dan kesediaan mereka, termasuk masukan dari aparat dari cabang dinas, kepala sekolah, dan guru. Hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat tidak siap secara sosial dan ekonomi. Aparat tidak siap secara psikologis. Meskipun secara administratif bisa saja dilakukan, tetapi karena hasil penelitian kebijakan tidak memungkinkan kepala dinas pendidikan kota tidak jadi mengeluarkan kebijakan tersebut.

f. Penelitian Tindakan (Action Reaseach)
Penelitian tindakan dilakukan untuk mengembangkan pendekatan atau program baru guna memecahkan masalah aktual. Dalam bidang pengajaran, penelitian jenis ini populer dengan istilah penelitian tindakan kelas. Tujuan utama penelitian ini adalah mengubah situasi, perilaku, dan organisasi (mekanisme kerja, iklim kerja, dan strukturnya). Karena fokus masalahnya sangat khusus (lokal) maka hasil penelitian ini lebih ditekankan pada tujuan pemecahan masalah dibanding pengembangan ilmu.
Contoh: Seorang guru menemukan kenyataan bahwa kemampuan membaca kritis para siswanya umumnya rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, ia merancang penelitian tindakan kelas. Dia mengawalinya dengan melakukan pemahaman faktor-faktor penyebab rendahnya kemampuan membaca kritis siswanya. Ia mengkajinya dari aspek intelektual-kognitif, sosial-ekonomi, dam kebiasaan membaca. Dari data-data yang didapatnya ia merancang beberapa program sesuai dengan latar belakang masalah yang dihadapi. Program itu kemudian ia laksanakan para kurun waktu tertentu (beberapa pertemuan pembelajaran). Hasil pelaksanaan program pada kurun waktu tersebut ia pelajari (dalam istilah penelitian tindakan kelas disebut refleksi) sehingga ditemukan keunggulan dan kelemahan program yang ia lakukan. Dari hasil refleksi tahap pertama tersebut, ia menyusun program baru yang merupakan revisi program lama. Program revisi itu ia terapkan lagi. Begitu seterusnya sehingga guru tersebut menemukan program yang dinilai tepat dan memadai.

g. Penelitian Evaluasi
Evaluasi adalah upaya membandingkan antara kejadian,kegiatan, atau produk, dengan strandar atau kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan salah satu bagian dari proses pengembalian keputusan. Dari sisi penelitian, kegiatan ini bisa dikatakan proses penelitian karena didalamnya ada proses pencarian data, pengolahan data, dan penafsiran data sehingga diperoleh temuan atau rekomendasi.
Dalam bidang pendidikan, dikenal ada evalusi formatif yang ditekankan pada proses dan penelitian sumatif yang ditekankan pada produk. Evaluasi formatif dilakukan untuk mendapatkan feedback dari suatu aktivitas dalam proses. Evaluasi sumatif dilakukan untuk memperoleh kejelasan efektivitas pencapaian program (hasil).
Contoh: Sebuah sekolah menengah atas menyusun sebuah program unggulan. Program unggulan itu kemudian diterapkan selama satu semester. Setiap bulan, pimpinan sekolah melakukan evaluasi (formatif) agar program yang dijalankan sesuai dengan rencana. Pada akhir semester, pimpinan melakukan evaluasi lagi (sumatif) untuk melihat apakah program yang dijalankan telah memberikan hasil yang diharapkan atau belum. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa program bisa dijalankan sesuai rencana dan memberikan hasil yang memuaskan. Sekolah memutuskan untuk melanjutkan program tersebut sebagai program unggulan sekolah.

h. Penelitian Sejarah
Penelitian sejarah adalah penelitian yang dilakukan untuk memperoleh penjelasan logis berdasarkan kejadian-kejadian yang berlangsung di masa lalu. Tujuan penelitian ini adalah untuk merekonstruksi kejadian-kejadian masa lalu secara sistematis dan objektif. Data dikumpulkan, dievaluasi, diverifikasi, kemudian disimpulkan. Meskipun masih bersifat hipotetis, penelitian ini kemudian dijadikan patokan untuk mengetahui sejarah tentang sesuatu. Inti pertanyaan penelitian sejarah adalah: kapan terjadinya, siapa pelakunya, dan bagaimana prosesnya.
Contoh: Seorang calon sarjana sastra, ingin mengatahui sejarah perkembangan kesenian tradisional Uyeg di Sukabumi. Ia kemudian mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari perpustakaan, musium, bahkan berburu naskah lama ke pelosok-pelosok wilayah Sukabumi. Ia pun mencari narasumber yang memiliki informasi tentang kesenian itu. Dari hasil penelitiannya, ia bisa membuat semacam rekonstruksi sejarah, sejak kapan kesenian itu ada, siapa saja tokoh yang berperan melestarikannya, dan kondisinya dari masa ke masa hingga kini.

3. Penelitian Berdasarkan Tingkat Eksplanasi
Eksplanasi artinya penjelasan, tingkat eksplanasi artinya tingkat atau kadar penjelasan. Tingkat penjelasan dalam penelitian bisa dibagi tiga yaitu penelitian deskriptif, komparatif, dan asosiatif.


a. Penelitian Deskriptif
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri, tanpa dibandingkan atau dihubungkan dengan variabel lain. Peneliti berusaha mendapatkan data apa adanya kemudian menggambarkan (mendeskripsikan) apa adanya. Kinerja peneliti dalam penelitian ini mirip kinerja seorang fotografer, fenomena atau variabel yang diteliti didata karakteristiknya (difoto) kemudian dijelaskan seperti apa adanya (dicetak jadi foto yang menggambarkan objek apa adanya.
Contoh: penelitian terhadap kemampuan menulis paragraf siswa kelas VII SMP 20 Bandung tahun pelajaran 2005-2006. Pengumpulan data dilakukan dengan cata tes menulis paragraf. Hasil tes kemudian dideskripsikan untuk menggambarkan tingkat kemampuan atau keterampilan siswa SMP tersebut dalam menulis paragraf.


b. Penelitian Komparatif
Penelitian komparatif adalah penelitian yang bersifat membandingkan dua variabel atau lebih. Kedua variabel bisa jadi tidak berhubungan atau mandiri. Tujuan penelitian ini antara lain untuk bisa menentukan mana yang lebih baik atau mana yang sebaiknya dipilih.
Contoh : perbandingan kemampuan membaca siswa laki-laki dan siswa perempuan di SDN I Sayang Sumedang. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan tes kemampuan membaca siswa laki-laki dan perumpuan. Hasil tes kelompok laki-laki dan perempuan dipisahkan. Lalu dilakukan perhitungan jumlah dan rata-rata hasil tes kedua kelompok. Dari rata-rata hasil tes sudah bisa dilihat ada tidaknya perbedaan. Tetapi untuk mengetahui lebih pasti signifikan tidaknya perbedaan itu, bisa dilakukan pengujian secara statistik yaitu dengan menggunakan uji t (T-test) atau ANOVA.

c. Penelitian Asosiatif
Penelitian asosiatif adalah penelitian yang berusaha mencari hubungan antara satu varibal dengan varibal lain. Hubungannya bisa simetris, kausal, atau interaktif. Hubungan simetris adalah hubungan anatara dua variabel yang bersifat sejajar, sama. Contoh penelitian asosiatif simetris : hubungan antara kemampuan matematis dengan kemampuan berbahasa. Hubungan kausal adalah hubungan yang bersifat sebab-akibat. Salah satu variabel (independen) mempengaruhi variabel yang lain (dependen). Contoh penelitian kausal : pengaruh kekerapan membaca terhadap kemampuan efektif membaca. Hubungan interaktif adalah hubungan antar variabel yang saling mempengaruhi. Contoh : Hubungan kepandaian dengan kekayaan (Diasumsikan kepandaian membuat orang bisa kaya, dan sebaliknya karena kaya orang mempunyai biaya untuk belajar sehingga pandai).
Teknik analisis penelitian asosiatif menggunakan teknik analisis kuantitatif (statistik). Perhitungan untuk mengatahui hubungan dan pengaruh antar variabel itu antara lain perhitungan koefesien korelasi rank Spearman dan Person Product moment.